Love From My Heart Oleh: Endik Koeswoyo (Bag 5)

Diposting oleh den_holic on Kamis, 26 Juli 2012

“Jack, kamu tadi dicari Han!” Pay menghampiri Jack.

 “Katanya dia tidak kekampus?”

 “Mungkin berubah pikiran, aku baru saja ketemu di loby.”

 “Dia masih disana Pay?”

 “Iya.”

 “Aku kesana dulu ya!”

 “Ya.”

 Jack meninggalkan kantin, menelusuri lorong itu menuju keruang loby. Beberapa kali dia menyapa teman yang berpapasan dengannya.

 “Ada apa Han?” Jack langsung menyapa Han yang sedang duduk dikursi panjang sambil melihat televisi.

 “Eh… kamu  bisa kirim e-mail nggak?”

 “Ha…hari gini nggak bisa kirim e-mail ha…ha…?” sambil menirukan sebuah iklan Jack menjawab pertanyaan Han.

 “Hus…jangan keras-keras!”

 “Kenapa?”

 “Malu.”

 “Ah…kamu sih, punya komputer cuma bisa buat ngetik doang, gaul dong!”

 “Ah…iya-iya, bisa nggak?”

 “Bisa, kapan?” jawab Jack meyakinkan Han.

 “Tahun depan!’’

 “Ceileh…ngambek nich?” goda Jack.

 “Bisa nggak?”

 “Aku masih ada satu mata kuliah lagi.”

 “Ya sudah, aku menunggu disini!”

“Kamu mau nungguin aku?” Jack tampak tidak yakin.

“Iya, emang kenapa?”

“Tumben, sepenting apakah e-mail itu?”

“Ah…tidak usah banyak tanya napa?”

“Iya…iya…aku masuk dulu ya!”

“Yuup.”

“Yakin mau nunggu?” Jack bertanya sekali lagi.

“Iyaaaaa…,” Han tampak sebel.

Teriakan pemuda  itu membuat beberapa orang yang duduk-duduk di-loby melihat kearah mereka. Jack dan Han hanya tersenyum.

“Kamu sabar ya!” Jack tersenyum, lalu dengan nada mengejek dan sambil memegang bahu Han  dia berkata seperti itu.

Walau tau kalau dia mengerjainya, Han malah tersenyum simpul padanya walau tidak lagi memperhatikan Jack yang melangkah pergi meninggalkannya.

 Setelah Jack pergi, Han membuka tasnya. Mengeluarkan Koran yang tadi malam  dibaca. Lagi-lagi Han mengamati gambar wanita disudut bawah Koran itu. Setelah puas memandangnya dia melangkah keluar, memandang sebuah tempat sampah didekat pintu masuk dan melemparkan koran itu kedalamnya.

 “Kalau mukzijat itu adalah aku, maka kita pasti akan bertemu. Akan kuberikan sepatu kaca dari dalam mimpiku padanya. Akan kuberikan cintaku, walau bukan lagi cinta pertama,” suaranya lirih namun dapat terdengar.

 Han kembali kedalam ruangan itu, duduk ditempatnya semula. 

 Setelah meyakinkan dirinya sendiri, pemuda hitam manis dengan baju hitam itu kembali duduk di kursi panjang. 

 “Han…novelnya sudah jadi belum belum?” seorang gadis dengan rambut sebahu menghampirinya. Nina gadis cantik dengan kulit bersih. Teman satu kampus Han.

 “Eh…kamu Nin. Belum jadi masih sembilan puluh halaman.”

 “Rencananya berapa halaman?” sambil duduk disampingku.

 “Paling seratus lima puluh. Tidak ada kuliah?” lanjut Han berbasa-basi.

 “Baru keluar, kamu?”

 “Tidak ada,” jawab Han singkat.

 “Tumben tidak ada kuliah tapi tetap kekampus?”

 “Lagi bete, tidak ada teman dirumah.”

 “Main kekostku aja yuk!” Nina tersenyum kecil.

 “Sekarang?” Han mengerutkan dahinya.


 “Iya, sekalian ngantar aku pulang.”

 “Kamu tidak bawa motor?” tanya Han lagi.

 “Dipakai Adek,” jelas Nina.

 “Tapi makan dulu ya?” Han memberikan sebuah pendapat.

 “Kamu belum makan?’’

 “Belum.”

 “Didekat kostku ada warung yang enak kok, kamu pasti suka.”

 “Serius?” Han tersenyum.

 “Iya.”

 “Berangkat sekarang?” tanya Han.

 “Kalau kamu tidak merasa terganggu sich,” Nina tersenyum senang.

 Han dan Nina berdiri, menuju ketempat parkir. Sebentar kemudian mereka telah berada diatas motor dan siap berangkat.

 Selama dalam perjalan tidak banyak yang mereka bicarakan. Baik Han maupun Nina seakan hanya menikmati lalu lalang kendaraan sepanjang jalan yang mereka lewati.

 “Han…aku kok tidak pernah melihatmu jalan bareng dengan seorang wanita?”

 “Lha…sekarang ini, memang kamu laki-laki?” Han tertawa kecil.

 Sebuah cubitan kecil mendarat dipinggang pemuda itu.

 “Maksudku dengan pacar kamu!” tegas Nina lagi.

 “Lagi dalam tahap negosiasi,” jawab Han sekenanya.

 “Apanya?” Nina penasaran.

 “Ya…calon pacarnya,” lanjut Han masih dengan senyumnya.

 “Pacar kok nego sih?” Nina cemberut manja.

 “Habis mau di apain lagi, langsung jadian?”

 “Ha…ha…kamu lucu juga ya?” Nina jadi tertawa.

 “Iya…aku kan pernah jadi badut,” Han menggoyang kepalanya.

 Nina tertawa terpingkal-pingkal mendengar jawaban yang sekenanya itu.

 “Mana warungnya?”

 “Tuh… didepan belok kanan!” Nina menunjuk sebuah pertigaan di depan mereka.

 Setelah melewati pertigaan itu, Han menghentikan motornya didepan sebuah warung yang ramai pengunjung.

 “Wah…ramai banget.”

 “Begitulah, apa-apa kalau enak dan sesuai pasti laku.”

 “Ah…belum tentu, buktinya aku yang enak, sesuai, baik dan tidak sombong belum juga laku?” Han menggoda Nina.

  Nina melirik kearah pemuda tampan di hadapannya yang tertawa lebar. Bila di lihat dari jarak yang cocok, pemuda itu tidak jauh beda dengan Nugie, potongan rambutnya, tingginya bahkan caranya tersenyum juga mirip.

 “Kamu duduk aja disana, biar aku yang ambil!” Nina menunjuk sebuah meja kosong disudut ruangan itu, dan hanya meja itulah yang kosong dari sekian banyak meja yang berjajar.

 Han melangkah kearah meja yang dimaksud dan memberikan sedikit senyuman saat melihat Nina berjalan kearah kerumunan orang yang antri mengambil menu. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Nina datang dengan dua porsi makanan yang sama.

 “Kok kamu tau aku suka ayam goreng dan sayur asem?” Han tampak heran dengan menu di hadapannya.

 “Aku sering melihat kamu makan dengan menu seperti ini dikantin,” Nina tersenyum bangga.

 “Kamu tau nggak? Baru kali ini lho, aku dilayani oleh gadis secantik kamu,” Han tersenyum sambil melirik kearah Nina.

 “Tuh…kan mulai merayu!’’ Nina tampak malu-malu.

 “Suer,” sambil mengangkat tangannya.

 “Beneran?” tanya Nina yang semakin tersipu.

 “Mau percaya silahkan, enggak juga nggak apa-apa!”

 Mereka lalu mulai menyantap makanan itu, sesekali Han melihat kearah gadis didepannya. Saat beradu pandang mereka hanya saling tersenyum.

  “Han…dengar-dengar dari kalian ber-empat belum ada yang punya pacar ya?”

 “E…mau jawaban yang jujur apa yang asal?”

 “Yang jujur dong!”

 “Bener.”

 “Beneran?” Nina meyakinkan.

 “Iya.”

 “Alasannya?” tanya Nina lagi.

 “Nggak tau, mungkin nggak laku.”

 “Kurasa, tidak ada yang kurang dari kalian ber-empat.”

 “Emang gitu?”

 “Sepertinya iya.”

 Han lalu terdiam, begitu juga Nina. Setelah selesai makan mereka berdua melanjutkan perjalan ketempat kost-nya Nina. Sesampainya di depan pintu pemuda itu tertegun.

 “Wah…kamarmu bagus ya?”

 “Biasa saja, silahkan masuk.”

 “Sebenarnya aku takut lho!”

 “Takut apa?”

 “Kalau masuk kedalam,” Han tersenyum kecil sambil menyandarkan tubuhnya di daun pintu. 

 “Kenapa?” Nina tampak heran.

 “Biasanya aku langsung tertidur bila berada disebuah kamar yang indah dan bersih,”  memandang beberapa lukisan yang menempel di-dinding kamar itu.

 “Ya sudah tidur aja, tidak ada yang marah kok.”

 Setelah masuk keruangan itu Han langsung merebahkan tubuh dikasur busa beralaskan seprei biru dengan bunga-bunga sedikit merah. Sebuah guling berwarna pink di peluknya dengan erat.

 “Tidur saja nanti pasti kubangunkan, aku mau ngerjain tugas dulu.” 

Nina duduk menghadap komputer.

 Tidak lama kemudian susana telah menjadi hening. Nina sibuk dengan komputernya dan Han telah terbang kealam mimpi yang indah.



{ 0 komentar... read them below or add one }