Love From My Heart Oleh: Endik Koeswoyo (Bag 3)

Diposting oleh den_holic on Sabtu, 10 Maret 2012

Sudah larut malam, namun Han masih belum tidur. Membuka-buka lagi koran tadi siang, mengamati gambar seorang wanita cantik disudut kanan bawah, mengamati rambutnya yang tergerai sebahu, mengamati bibirnya yang merah merekah. Lalu pemuda itu  hanya bisa tersenyum sambil melipatnya kembali.

 “Han…sudah malam masih belum tidur?” 

Jack membuka pintu kamar. Tersenyum sesaat lalu melangkahkan kakinya menuju sebuah kursi yang ada di sisi ruangan. Jack memandang sahabatnya dengan tatapan yang cukup tajam sebelum mengalihkan pandangannya kesebuah poster hitam putih di sisi dinding yang lainnya.

 “Eh…kamu Jack, dari mana?’’ 

Han bangun dari tempat tidurnya, lalu duduk ditepi ranjang.

 “Dari tempat teman ngambil foto, mikirin apa?” sambung Jack.

Jack mengambil posisi yang nyaman di kursi itu. Matanya kini beralih kearah lembaran koran yang masih di pegang Han.

 “Ah…nggak, habis membaca koran,”  kemudian dia menyodorkan koran itu pada Jack.

“Kata Arif, kamu jatuh cinta ya?” senyumnya penuh tanda tanya seakan tidak percaya. Tangannya sigap menyambut koran itu.

 “Ha…ha…bukan jatuh cinta,” Han tertawa lebar, memandang Jack yang hanya tersenyum simpul.

 “Lalu?”

 “Baca aja, tuh ada beritanya!’’Han menunjuk kolom bawah koran yang barus saja disodorkannya pada Jack.

 “Mana?”

 “Tuh…cewek yang ada disudut bawah halaman depan.”

 Jack membacanya dengan serius, suasana menjadi hening. Hanya terdengar musik sayup-sayup dari radio dikamar sebelah. Matanya bergerak cepat dari satu sisi ke sisi lainnya mengikuti barisan huruf-huruf kecil itu. Mencernanya dengan otak lalu melanjutkannya kembali.

 “Kagum sama dia?” Jack menunjuk gambar wanita itu.

 “Iya, memang kenapa?” Han tetap tersenyum pada sahabatnya itu, meraka sungguh saling perhatian. Seperti sepasang saudara yang sedang menimbang perasaan untuk lebih bisa saling mengerti.

 “Tidak apa-apa, asal jangan jatuh cinta!”

 “Kalo aku jatuh cinta dan menikahinya, apa kamu masih mau menjadi sahabatku?”

 Jack hanya diam, mengamati Han. Memandang sedalam mungkin kearahnya, sepertinya dia menelusuri relung-relung hati sahabatnya itu. Mancari arti sebuah pertanyaan yang baru saja dilontarkan. Memang terkesan seperti sebuah gurauan menjelang malam. Hanya saja itu serius bagi Han. Dan angin malam juga mengangguk pelan mengiyakan. Belum lagi lagu sahdu yang melantun, walau terkesan cengeng
namuan syairnya nyata.

 “Aku tidak bisa menjawabnya sekarang, Han.”

 Sepetinya Jack yakin kalau sahabatnya memang tidak sekedar ngelantur. Setiap perkataan Han pastilah mengandung makna di pipkirannya. Semua memang terkesan aneh. Dan memang seperti itulah Han. Seperti sebuah gunung berapi yang selalu diam namun membahayakan. Seperti seekor semut kecil yang hanya berjalan hilir mudik sendiri, hanya saja selalu menyapa sahabatnya bila bertemu muka. Seperti laut yang tenang namun menyimpan sejuta pesona bahkan bisa menghancurkan.

 “Kenapa?’’ tanya Han singkat.

 “Ya…masalahnya sangat berat buatku,” sahut Jack sambil mengusap rambutnya.

 “Berat? Apanya yang berat?” 

 “Ya…aku belum bisa memberikan jawaban itu sekarang, perlu berpikir lebih lama lagi,” Jack tampak bingung dengan pertanyaan Han itu.

 “Ha…ha…jangan terlalu dipikirkan, lagian wanita itu jauh dan aku tidak tau dia tinggal dimana?”

 “Tapi kalau sudah jodohmu, dan kamu dikirimkan padanya sebagai mukzijat?”

 “Ya…harus disyukuri,” jawab Han enteng. 

 “Sejauh mana Tuhan mengatur umat-Nya, tidak ada yang tau,” ucap Jack lirih.

 “Tidak juga dengan pertemuanku dengannya?”

 “Ya…bisa saja kamu adalah pangeran yang dikirimkan untuknya. Kamu juga tidak tau kalau dia adalah jalan untuk menemukan cintamu. Masih banyak alternative lain tentang sebuah cerita Han!”

“Tapi apa kamu percaya tentang Cinderella dan sepatu kacanya?”

 “Aku lebih percaya dengan kisah Nawangwulan dan Joko Tarub,” kata Jack pelan.

 “Tentang selendang bidadari itu?” tegas Han.

 “Yuup…atau tentang Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso.”

 “Kenapa Jack?” tanya Han lagi.

 “Mereka pada akhirnya tidak bisa bersama,” sahut Jack lirih.

 “Romeo?”

 “Aku tidak tau, tapi rasanya tidak mungkin kamu rella mati demi gadis itu.”

“Seandainya aku melakukan itu?” Han meyakinkan sahabatnya dengan senyum kecilnya.

“Maka akulah yang menangisi mayatmu untuk yang pertama kali.”

“Kenapa?”

“Kamu orang paling aneh yang aku kenal. Kamu juga manusia langka yang aku temukan. Posisi imajinermu sangat memukauku. Belum lagi cara berpikirmu ketika kamu adalah manusia normal.”

“Ha…ha…memangnya aku terkadang menjadi tidak normal?”

“Kenapa tertawa Han? Kamu tidak menjadi normal ketika yang kamu pegang adalah buku dan bolpoin. Kamu bisa kemana saja dan berbuat apa saja dengan itu.”

“Semua tergantung yang menilai Jack! Tapi kalianlah sahabat terbaik yang pernah aku punya.”

“Tapi apapun yang kita alami pastilah telah di perhitungkan oleh Sang Pencipta.”

“Tentang mati dan hidup?”

“Yuup…” sahut Jack yakin.

“Aku suka itu jack, aku suka!”

  Sepertinya mereka berdua semakin serius membahas wanita dalam Koran itu. Membicarakan tentang kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi. Menjadikannya sebuah guyonan sebelum tidur. Atau barang kali mereka ingin menciptakan dongeng baru tentang sebuah kisah romatis yang dramatik.

“Han…aku tidur dulu ya!” Jack melangkah keluar dari kamar.

“Jack! Arif dan Pay sudah tidur?”

“Sudah dari tadi, met malam semoga kamu menemukannya dalam mimpi, ha…ha…,” sambil tertawa Jack meninggalkan ruangan itu, menutup pintu kembali dan melangkah menuju ruangan diseberang.

Han merebahkan tubuhnya kembali. Mebiarkannya terlentang tanpa selimut. Matanya menerawang jauh. Hampir lima belas menit dia terdiam, terbaring dan masih belum juga terpejam. Tiba-tiba saja dia teringat sebuah buku tentang HIV yang didapatnya beberapa hari lalu saat seminar. Pemuda dengan rambut sedikit panjang itu lalu bangun, turun dari ranjang dan melangkah kearah rak-buku disudut ruangan. Melihat satu demi satu buku yang tersusun rapi itu. Pada akhirnya dia tersenyum, sepertinya buku yang dicari telah ketemu. Sebuah buku kecil berwarna pink. Dengan senyumnya yang khas, dia kembali ketempat tidur dan membacanya halaman demi halaman.

{ 0 komentar... read them below or add one }