Love From My Heart Oleh: Endik Koeswoyo (Bag 10)

Diposting oleh den_holic on Jumat, 24 Agustus 2012

 Dimeja makan telah tersedia berbagai menu masakan. Tidak lupa ayam goreng dan sayur asem. Semua telah duduk kursi masing-masing bersiap untuk menyantap makan malam bersama. 

 “Maaf ya bila masakannya kurang enak.”

 “Dari aromanya saja saya sudah tau kalau ini lezat.”

 Jawaban Pay itu diiringi dengan senyum yang lain, termasuk Nina. Walau agak kaku, acara makan malam itu terlihat sangat romantis. Apalagi ditambah dengan alunan merdu lagu klasik dari ruang tengah, Sebuah lilin ditengah meja bulat oval itu dan…kehadiran Nina diantara mereka seakan membawa sebuah kedamaian. Begitulah, suasana menjadi semakin hangat dengan gurauan mereka berlima. Bila biasanya hanya makan diwarung belakang, kini mereka bisa menikmati makan dirumah sendiri, dimeja makan sendiri dan dipiring sendiri. 

 “Ternyata lebih nyaman makan bersama-sama dirumah sendiri ya?”

 “Iya, soalnya kita tidak perlu repot-repot ngantri, dan yang paling penting tidak usah bayar, ha…ha…”

 “Kalo bisa begini terus, mungkin kita akan betah dirumah ini.”

 “Terus yang masak kamu, Pay?”

 “Ha…ha…sepertinya kita harus kursus memasak pada Nina Jack.”

 Nina hanya tersenyum malu, dia melihat kearah Han yang asyik menikmati makan malam itu tanpa banyak bicara seperti teman yang lain. Karena dalam benaknya sedang membayangkan kalau saja Nina adalah gadis dalam Koran itu. Membayangkan kalau gadis itu adalah pemilik sepatu kaca yang selama ini selalu hadir dalam mimpinya.

 “Han…kenapa kamu hanya diam saja?”

 Mendengar pertanyaan Arif itu, Han kaget dan buyarlah semua lamunannya.

 “Ah…aku hanya merasa heran.”

 “Heran dengan apa?”

 “Ya…heran dengan yang masak.”


 “Kenapa Han?”

 “Tidak kusangka Rif, masakannya enak.’’

 “Ha….ha….’’ Mereka tertawa lagi mendengar jawaban itu, dan pastinya tawa itu membuat Nina malu-malu.

 Selesailah sudah acara makan malam pertama itu. Mereka masih saja duduk-duduk melingkar dimeja makan. Menikmati hidangan penutup sambil terus bercengkrama. Nina mulai merapikan piring-piring kotor dan mencucinya. Keempat cowok itu masih asyik menikmati rokoknya masing-masing. Seyum dan tawa mereka penuh dengan kebahagiaan.

 “Nin…setelah ini jangan pulang dulu ya!” tanya Jack singkat.

 “Kenapa Jack?” Nina balik bertanya.

 “Kita harus melihat film drama romantis terbaru,” ucap Jack mantap.

 “Ha…ha…sejak kapan kamu suka nonton film romantis?”

 “Sejak kehadiran Nina, Pay!”

 Disambut tawa yang lain.

 Arif membantu Nina mencuci piring, Pay dan Jack beralih keruang tengah, menyiapkan vcd player.  Jack menggelar karpet dan mengambil beberapa bantal dari kamarnya. Pay mengganti lampu diruangan itu dengan  yang lebih redup. Sungguh suasana yang romantis. Han masih belum beranjak dari tempat duduk dimeja makan. Arif kemudian menyusul kedua temannya keruang tengah.

 “Nin…maafkan teman-temanku, mereka memang usil. Apapun yang dikatakan mereka jangan kamu masukkan kedalam hati ya?”

 Gadis itu hanya menjawab dengan senyum termanisnya. Setelah mencuci tangannya, dia duduk disamping Han.

 “Asalkan kamu senang aku juga senang Han,” kata Nina dengan senym tulus.

 “Tapi Nin?’

 “Sudah tidak usah dipikirkan, aku tidak akan menuntutmu yang macam-macam.”

 Han terdiam, seakan memutar otak untuk mengartikan ucapan gadis itu. 

“Kamu percaya kalau Cinderella mempunyai sepatu kaca?”

“Percaya, aku menyukai cerita itu. Kenapa?”

Pada akhirnya dia hanya tersenyum dan tidak meberikan jawaban atas pertanyaan yang di loontarkan gadis itu. Dia menggandeng tangan gadis itu dan melangkah keruang tengah. Duduk diantara teman-teman. Pemutaran film romantis dimulai, mereka semua terdiam menyaksikan adegan demi adegan. Menikmatinya dan mengapresiasikan dengan imajinasi masing-masing. Hanya sesekali terdengar suara batuk-batuk kecil dari mereka.  

Setelah selesai melihat film itu mereka saling pandang, tersenyum lalu tertawa.

 “Ternyata asyik juga ya?” Arif  bertanya pada sahabat-sahabatnya. Mereka hanya tersenyum.

 “Besok pinjam lagi Pay!”

 Komentar singkat itu sepertinya adalah sebuah komentar yang jujur dari dalam hati. Diawali dengan Jack yang pamit tidur lebih dulu, diikuti Pay dan Arif yang melangkah menuju kamarnya masing-masing. Hanya tinggal Han dan Nina yang kini sedang melihat acara di televisi.

 “Nin…kamu tidur saja dikamarku.”

 “Kamu?”

 “Ah…gampang, aku biasa tidur didepan teve.”

 “Wah…aku paling takut  tidur sendiri, apalagi ini bukan kamarku.”

 Han terdiam, memandang gadis itu, membayangkan betapa hangatnya tidur dipelukannya. 

 “Tapi apa kamu merasa aman bila tidur denganku?”

 “Apa yang harus aku takutkan, buktinya kemarin aku aman-aman saja.”

 Lagi-lagi Han harus terdiam dengan jawaban singkat itu. Dan pemuda itu hanya mampu memandang gadis cantik yang duduk didekatnya. Bajunya yang berwarna merah jambu, serasi dengan kulitnya yang putih bersih.

 “Ya sudah, kutemani. Tapi aku buat kopi dulu ya!”

 Han beranjak dari duduknya, mematikan televisi dan melangkah menuju ke dapur. Nina mengikutinya dan hanya memperhatikan pemuda iru menyeduh secangkir kopi. Setelah selesai mereka lalu masuk kedalam kamar. 

 “Kamu tidur dulu ya, aku harus menyelesaikan tulisanku.”

 Gadis itu merebahkan tubuhnya diranjang, sementara Han duduk menghadap komputernya. Menikmati secangkir kopi panas yang baru di buatnya tadi. Merangkai kata demi kata menyusunnya menjadi sebuah kalimat, lalu tak lama kemudian jadilah sebuah cerita.

 Cukup lama dia duduk ditempat itu, sesekali Han menoleh kearah gadis yang terlelap diranjang.

 Kini Han telah merebahkan tubuhnya disamping bidadari cantik yang terlelap. Mentupkan selimut padanya dan mulailah dia memejam mata. Walau agak sulit pada akhirnya dia juga terlelap.
More about Love From My Heart Oleh: Endik Koeswoyo (Bag 10)

Love From My Heart Oleh: Endik Koeswoyo (Bag 9)

Diposting oleh den_holic

 Hari telah beranjak sore saat Jack dan Pay datang. Mereka berdua duduk disofa melepas lelah. Sepertiga menit kemudaian Arif datang dan langsung bergabung dengan mereka. Wajahnya memerah karena sengatan matahari yang bercampur debu jalanan.

 “Mana Han?”

 “Emang aku bapaknya?” Jawaban Pay itu mebuat mereka tertawa.

 “Tumben Rif kuliah sampai sore?”

 “Lagi banyak tugas Jack.”

 “Coba lihat Han dikamarnya, siapa tau dia pingsan.”

 “Iya Rif, seharian tidak keluar betah banget ya tuh anak?”

 Arif melangkah masuk, membuka pintu kamar Han pelan-pelan. Dia tersenyum melihat sahabatnya tertidur, apalagi seorang gadis memeluknya dengan erat. Dia menutup kembali pintu kamar itu pelan-pelan agar tidak mengusik mimpi sahabatnya yang sedang berdua dengan gadis itu.

 “Sst…jangan berisik, Han lagi tidur,” Arif kembali pada kedua temannya diruang tamu.

 “Hah…jam segini belum bangun?”

 “Pelan-pelan Pay, dia sedang dipeluk bidadari cantik.”

 “Siapa?” sepertinya Jack juga penasaran.

 “Tuh cewek yang semalam tidur dengannya.”

 “Nina?” mereka berdua menanyakan hal yang sama.

 “Iya.”

 “Wah…kita bakal bisa menepis gossip nih,” Pay tertawa pelan.

 “Gosip apa?” sambil mendekatkan kepalanya pada Pay.

 “Gosip kalau kita homo Jack…ha…ha….”

 Mereka bertiga tertawa terbahak-bahak, lalau sebentar kemudian mereka terlihat sedikit menahan tawa.

 “Iya…kita akan punya seseorang yang merawat bunga-bunga ditaman, terus, akan ada yang membuatkan kopi saat bangun tidur, terus…akan ada yang nyapu dan bersih-bersih rumah, ha…ha…” Jack tampak mebayangkan sesuatu.

 “Ssst…pelan-pelan kalau mereka bangun bisa kacau,” Arif meminta kedua sahabatnya untuk mengurangi volume suara mereka.

 Sepertinya mereka sangat bahagia dengan kehadiran Nina. Sepertinya pula mereka sangat merindukan seorang wanita diantara mereka.

 “Eh…kalian sudah datang?” Suara itu sangat mengejutkan obrolan mereka bertiga.

 “Sudah bangun Nin, sini ngobrol ama kita-kita,” Jack langsung berdiri, menyambut kehadiran Nina yang muncul tiba-tiba. Mempersilahkan wanita itu duduk didekat mereka.Nina hanya bisa tersenyum. Dia tidak menyangka sambutan yang di dapatnya sangat hangat.

 “Terimakasih ya Jack.’’

 “Biasa aja, anggap rumah sendiri,” kata Jack lagi.

 “Belum mandi ya?”Pay ikutan mengajukan sebuah pertanyaan.

 “Iya Pay” Jawaban itu tentu saja diikuti dengan senyum yang malu-malu.

 “Boleh kok mandi disini.”

 “Tidak membawa peralatan mandi, lagian juga mau pulang.”

 “Pulang?” Ketiga sahabat itu saling memandang mendengar jawaban Nina.

 “Jangan pulang dulu, pakai peralatan madiku saja.” Arif dengan senang hati menawarkan peralatan mandinya.

 “Apa mau diambilkan ditempatmu?”  Jack tidak kalah serunya dalam menawarkan jasanya.

 “Tak beliin aja ya, butuh apa saja?”

 “Ah…kalian jangan bercanda dong!”

 “Tidak, kami tidak bercanda,” sepertinya jawaban Jack memang serius, apalagi diikuti anggukan kedua temannya.

 “Nggak usah repot-repot, pakai punya Han juga tidak apa-apa,” pipi gadis itu memerah, sebuah tanda kalau dia malu atau tersanjung dengan perkataan teman-temannya itu.

 “Kamu mandi dulu biar aku mengambilkan pakaianmu di-kost ya?” Pay langsung berdiri, bersiap untuk berangkat.

 “Ah…tidak usah Pay, merepotkan saja.”

 “Tidak apa-apa, biar aku ambilkan pakaianmu.”


 “Ah…jadi merepotkan kalian semua.”

 “Tidak apa-apa, asalkan nanti kita masak bersama dan makan malam bersama.

  Bagaimana setuju?” Pay meminta pendapat mereka.

 “Setuju….” Jawaban itu keluar dari mulut Jack dan Arif.  Sementara Nina hanya tersipu malu. Pancaran binar bahagia terlihat jelas di wajahnya.

 “Bagai mana Nin setuju tidak?”

 “Eh…bagaimana ya?” Nina tampak semakin malu-malu mau.

 “Setuju aja deh.”

 “Iya deh Pay, tapi ini tidak merepotkan kalian kan?”

 “Tidak,’’ lagi-lagi tanpa dikomando mereka mengeluarkan  jawaban yang sama.  Nina melangkah masuk lagi kedalam kamar, memandang Han yang masih terlelap tidur sore itu. Menutup kembali pintu kamar, lalu membuka pakaiannya didepan cermin, mengambil handuk dan melilitkannya ditubuhnya yang sintal itu. Melangkah lagi menuju kamar mandi. Setelah mandi dia kembali lagi, duduk didepan cermin. Membuka tas kecilnya, mengeluarkan beberapa alat rias. Menyisir rambutnya yang basah, memakai bedak dan sedikit lips ice.

 Sepertinya Han telah membuka matanya dari tadi walau tidak beranjak dari tempatnya semula. Han terkejut melihat Nina duduk didepan cermin, apalagi gadis itu hanya mengenakan haduk yang menutupi sebagian tubuhnya. Han menatapnya dari atas tempat tidur. Nina masih saja asyik dengan cermin didepannya tanpa tau sepasang mata mengamatinya. 

Pintu kamar itu diketuk pelan.

 “Nin…in bajumu, kutaruh didepan pintu.”

 Sepertinya itu suara Pay, Nina melangkah kearah pintu. Melihat gadis itu berdiri, Han memejamkan mata lagi. Setelah mengambil sebuah tas didepan pintu, Nina kembali lagi kedepan cermin, melihat kearah Han yang masih terbaring. Dia tersenyum karena mengira pemuda itu belum bangun. Dilepaskan handuk itu, membuka tasnya dan mulailah dia mengenakan pakainnya satu persatu. Sementara Han hanya bisa melihatnya, melihat gadis itu berpakaian sambil sesekali menarik nafas panjang. Setelah yakin rapi, Nina melangkah kearah pemuda yang pura-pura tidur. Mencium keningnya dengan mesra.

 “Han…bangun sudah sore.”

 Han membuka mata, memandang gadis cantik itu. Ada semacam perasaan yang berkecamuk dihati, sepertinya sebuah pertanyaan  ”apa yang baru saja kulihat benar-benar dia?’. 

Han bangun, beranjak dari tempat tidur. Tanpa sepatah katapun dia lalu berdiri, mengambil handuk yang ada dikursi dan pergi kekamar mandi.
More about Love From My Heart Oleh: Endik Koeswoyo (Bag 9)

Love From My Heart Oleh: Endik Koeswoyo (Bag 8)

Diposting oleh den_holic on Kamis, 26 Juli 2012

 Malam telah hampir berganti pagi, namun Han masih belum juga memejamkan mata. Bila kemarin malam  tertidur dengan seorang gadis disampingnya, kini hanya bantal-bantal bisu yang menemani. Mungkin juga dia merasakan kesepian yang sangat.

 Bila tadi pagi dia dipaksa bicara oleh teman-teman, kini dia hanya duduk termenung didepan komputer, tanpa melakukan apapun. Sedetik setelah itu Han beranjak dari kursi, melangkah menuju keatas ranjang, mengamati alroji kesayangan yang telah menunjukkan angka tiga, tentunya saat itu sudah jam tiga pagi. Memejamkan mata lalu terlelap. Malam yang sunyi tanpa mimpi mungkin saja  dialaminya...
Pagi telah tiba, saat pintu kamar terbuka berlahan. Arif masuk kedalam dan membangunkan Han yang masih terlena oleh mimpi. 

“Han…bangun, ada yang nyari tuh!” 

Tapi Han belum juga menyahut, hingga Arif harus mengulangi perkataannya lagi.

 “Han, bangun…ada yang nyari tuh!” kali ini sambil mengguncang-guncang tubuh sahabatnya.

 “Siapa?”

 “Tuh diluar, cepetan.”

 Arif meninggalkannya yang masih terlentang ditempat tidurnya.

 “Han…cepetan, aku mau berangkat kekampus,” sambil melongok sekali lagi ke dalam kamar. “Kasihan dia tidak ada yang menemani,” Lanjutnya setengah berteriak.

 Arif menutup pintu kamar itu kembali, melangkah keluar dan menemui seseorang diruang tamu.

 “Tunggu sebentar ya, Nin!”

 “Iya, santai saja.”

 “Aku harus kuliah, sorry banget tidak bisa menemani.”

 “Iya, hati-hati.” 

Arif langsung meninggalkan Nina diruang tamu.  

Cukup lama Nina menunggu diruang tamu, beberapa kali dia terlihat melihat jam di-dinding ruang itu. Dia beranjak, melangkahkan kakinya menuju kamar. Membuka pintu kamar itu dengan hantinya yang sedikit deg-degan.

 Setelah membuka pintu, gadis itu mengamati seluruh ruangan.

 “Rapi,” gumamnya, dengan senyum khas bidadari cantik.

 Dia melihat Han yang masih terlentang tanpa mengenakan baju. Mungkin saat itu Han dalam keadan setengah sadar setelah Arif membangunkannya beberapa menit yang lalu. Nina lalu duduk didepan komputer, memandangnya yang terbaring diatas tempat tidur . Dia mendekatkan dirinya.

 “Han…bangun, sudah siang!”

 Suara lembut itu seakan langsung menusuk kedalam telinga dan langsung membuyarkan mimpi pemuda itu.

 “Eh…Nin, sudah lama?” sambil menutup tubuhnya dengan selimut.

 “Kenapa, malu ya?”

 “Ah, enggak,” walaupun sebenarnya dia malu, karena saat itu  tidak mengenakan baju.

 “Kamu tidak kuliah?”

 “Tidak, hari ini kosong. Maaf ya, aku tidak tau kalau yang datang kamu.”

 “Ah…tidak apa-apa, memangnya kamu tidak tidur semalam?”

 “Tidur, tapi sudah pagi. Aku madi dulu ya Nin,” pemuda itu beranjak dari ranjang, melangkah keluar. 

Nina hanya tersenyum sambil mengamatinya. Han sempat melihat gadis itu mengambil sebuah buku dirak lalu merebahkan tubuhnya diranjang sambil membaca buku tersebut. Dengan senyumnya, pemuda itu meninggalkan kamarnya. 

Saat Han masuk kembali, Nina tidak juga memperhatikannya, dia lebih asyik dengan buku yang dibacanya.

 “Itu buku pertamaku,”  sambil menunjuk buku yang dibaca Nina.

 “Buat aku ya!”

 “Ya…bawa saja, tuh dirak masih banyak lagi.”

 Sambil mengusap-usap rambutnya yang basah dengan handuk warna biru. Setelah yakin  rapi, Han melangkah menuju pembaringan memposisikan diri disebelah Nina. Gadis itu hanya tersenyum sambil mengusap kepala Han dengan penuh kasih sayang.

 “Kamu tidak kuliah Nin?”

 “Sudah, tadi masuk jam delapan pagi. Setelah itu langsung kesini.”

 “Adikmu sudah pulang?” tanya Han lagi.

 “Sudah, beberapa menit setelah kamu meninggalkan kamarku.”

 “Kamu bilang kalau aku semalam tidur ditempatmu?”

 “Iya, dia paling tau aroma cowok, ha…ha…”


 Han ikut tertawa,  menatap bibir gadis cantik  yang merekah itu. Mungkin juga saat itu dadanya berdebar. Dia seakan enggan berpaling dari bibir yang benar-benar merah merekah. 

 “Apa kata Adikmu?”

 “Dia tidak percaya kalau kamu hanya menciumku,” gadis itu tersenyum simpul, menatap lawan bicaranya dalam-dalam. Sementara aku yang ditatapnya  hanya diam.

 “Kamarmu rapi juga ya?”

 “Ah…lebih rapi kamarmu,” Han tampak merendah malu-malu.

 “Apakah ada wanita yang masuk kesini selain aku?”

 “Belum ada, paling Arif, Jack dan Pay, selain itu belum ada.’’

 “Sama sekali?”

 “Iya.”

 “Suer?”

 “Iya.”

 “Apakah Ibumu juga tidak pernah masuk kesini?” Nina tersenyum simpul.

 “Tidak, Ibuku tidak pernah kesini.”

 “Kenapa?”

 “Mungkin dia terlalu sibuk, lagian Ibuku tinggalnya jauh dari sini.”

 “Dimana?”

 “Kalimantan,” jawab Han singkat.

 Nina hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.  Sementara itu pemuda yang ada disampingnya hanya tersenyum.

 Obrolan itu memang terkesan kaku. Hanya saja setelah beberapa saat kemudian semua menjadi wajar biasa. Bahkan beberapa kali Nina memukul pundak Han dengan mesra lalu keduanya tertawa. Ya...seperti sepasang kekasih yang di mabuk asmara. Saling bercerita dan bercanda.


More aboutLove From My Heart Oleh: Endik Koeswoyo (Bag 8)

Love From My Heart Oleh: Endik Koeswoyo (Bag 7)

Diposting oleh den_holic

 “Baru pulang Han?” sapa Arif pelan.

 “Iya.”

 Han duduk disofa, disamping Arif yang sedang menikmati secangkir kopi sambil membaca Koran pagi itu.

“Semalam tidur mana?”

  Han hanya diam, tidak menjawab pertanyaan Arif.

 “Jack kemarin marah-marah, katanya nyari kamu tidak ketemu?”

 Melihat Han yang hanya diam, Arif lalu bertanya lagi pada Han yang baru saja datang.

 “Ada masalah Han?”

 “Tidak.” 

Di raihnya cangkir kopi yang ada diatas meja dan tentunya itu milik sahabatnya. Meneguknya sedikit dan mengembalikannya lagi ketempat semula.

 “Kamu tadi malam tidur mana?” tanya Arif dengan raut muka heran.

 “Kalau aku jawab, kamu janji tidak akan bilang siapa-siapa?” Han akhirnya buka mulut juga.

 “Paling hanya ngomong Jack dan Pay.”

 “Janji?”

 “Iya, paling-paling cuma mereka berdua!” Arif tampak ingin segera tau jawaban Han.

 “Dikamarnya Nina.”

 “Ha…! Dikamarnya Nina?” dengan nada sangat terkejut.

 “Iya,”  mengambil koran yang dipegang Arif.

 “Jack…Pay…teman kita sudah punya pacar!” Arif berteriak memanggil kedua temannya yang masih didalam kamar.

 “Hus…siapa yang pacaran?” hardik Han.

 “Tapi, buktinya  semalam kamu tidur sama Nina!”

 “Bukan berarti aku pacaran kan?” mukanya tampak memerah.


 Dengan senyum simpul, Han berusaha menyangkal pendapat Arif. Sedangkan Jack, dan Pay yang baru keluar langsung duduk bersama diruang itu.

 “Kemarin kemana, aku cari-cari tidak ketemu?” 

Jack langsung menanyakan itu pada Han.

 “Sory Jack, kemarin aku ngantar Nina pulang.”

 “Terus, dia tidur disana sekalian!” Arif memotong pembicaraan mereka berdua.

 “Iya, Han? Kamu tidur dengan Nina si-bahenol itu?” Pay tampaknya juga tidak mau ketinggalan berita hangat itu.

 Han hanya tersenyum pada mereka bertiga yang jelas masih penasaran akan sebuah jawaban yang pasti.

 “Iya,” menjawabnya dengan pelan tapi pasti adalah satu-satunya pilihan yang bisa terucap saat itu.

 “Pantesan, kemarin menghilang bagai ditelan bumi,” gerutu Jack.

 “Sory, Jack,” Han menatap Jack.

 “Itu bukan masalah besar, kamu ninggalin aku juga tidak apa-apa, tapi…”

 “Tapi apa jack?”

 “Sebagai gantinya, sebagai pengobat rasa jengkelku padamu, kamu harus cerita tentang semua kejadian, dari kemarin di loby kampus sampai pagi ini!” Jack tersenyum bangga dengan idenya.

 “Ah…itu masalah lain Jack,” Han tampak malu-malu. 

 “Lain? Apanya yang lain?”

 “Ha…ha…baiklah, tapi janji tidak akan membicarakannya didepan teman-teman yang lain?” 

Setelah didesak, akhirnya dengan terpaksa Han mau menceritakannya.

 “Iya …,” jawab mereka bertiga hampir bersamaan.

 “Tapi kamipun juga punya syarat, ceritanya harus runtun, jelas dan menggunakan bahasa yang baik dan benar!” 

 Seperti seorang hakim yang mengadili tersangkanya, Jack memberikan sebuah penjelasan disertai dengan gerakan tangannya.

 “Ha…ha…terserah yang  bercerita dong!”

 “Wah…mau aman nggak?”

 “Iya deh Jack,” lagi-lagi Han harus menuruti permintaan teman-teman pagi itu.

  “OK ?” Jack minta pendapat yang lain.
 Pay dan Arif mengangguk cepat.

 “Begini, siang itu aku duduk diloby, menunggu teman yang kuliah, lalu Gadis itu datang.” 

Sepertinya Han sedikit malu untuk mulai bercerita. Sementara teman-teman hanya  mendengarkan saja.

 “Lalu dia memintaku mengantarnya pulang, sebelum sampai tempat kost-nya, kami makan dulu. Disebuah warung yang ramai pengunjung. Aku disuruhnya duduk disebuah meja disudut ruangan. Nina mengambilkanku sepiring nasi lengkap dengan sayur asem dan ayam goreng,” lanjutnya lagi.

 “Lalu?” 

 “Kami makan tanpa banyak pembicaraan yang kami lakukan. Setelah makan, kami ketempat kost-nya. Semula aku hanya berdiri didepan pintu, terkagum-kagum dengan tata ruang dan kebersihan kamar itu.” 

Han menghentikan cerita, menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya pelan. Belum ada komentar dari teman-temannya, mereka masih menunggu.

 “Lalu dia memintaku masuk, sebenarnya aku menolak dan ingin pulang saja. Karena aku lelah dan tertarik dengan kamar itu, aku akhirnya tertidur,” lanjut Han yang wajahnya semakin memerah. 

 “Nina?” celetuk Jack.

 “Dia mengerjakan tugas, duduk didepan komputernya.”

 “Lalu?” sepertinya Arif yang paling penasaran.

 “Lalu aku terbangun, tapi itu sudah jam satu malam.”

 “Nina?” lagi-lagi Arif berinisiatif menanyakan sang gadis.

 “Dia telah memelukku dengan erat, aku menjadi semakin takut saat aku melihat jam dinding itu sudah menunjukkan angka satu.”

 “Lalu?” celetuk Jack antusias.

 “Aku hanya diam untuk beberapa saat, hingga aku memutuskan untuk pergi ke-kamar mandi, membasuh mukaku dan berkaca. Setelah itu aku duduk di depan komputer, mengamati Nina yang tertidur pulas,” wajah Han semakin merah.

 “Cuma gitu?” Jack semakin antusias.

 “Tidak, dia terbangun. Berbicara sebentar dan dia menyuruhku tidur lagi. Nina menarikku dengan manja, sedangkan aku hanya menurut saja.”

 “Lalu kamu bercinta?”

 “Jack, jaga pembicaraanmu, memang aku semudah itu?” Han pura-pura marah
.
 “Ha…ha…,” melihat sahabatnya pura-pura marah mereka malah tertawa.

 “Setelah sampai diatas tempat tidur aku tidak bisa memejamkan mata, aku hanya bisa  melihat lekuk-lekuk tubuhnya yang tertutup kain tipis berwarna biru muda.”

 “Kalian tidak bercinta?” tanya Jack lagi.

 “Tidak.”

 “Hah…sama sekali?” sepertinya Jack tidak percaya dengan apa yang diceritakan

 “Tidak, aku hanya mencium bibirnya.”

 “Setelah itu?” 

 “Ya…Cuma sampai disitu, kami hanya berciuman sampai aku tertidur lagi.”

 “Ha…ha…aku tidak bisa membayangkan jika kamu harus telanjang, ha…ha….”

 Mendengar perkataan Jack itu, semua tertawa termasuk Han. Mereka masih saja membicarakan kejadian semalam, berbagi pendapat atau barang kali saling curhat. 
 
More aboutLove From My Heart Oleh: Endik Koeswoyo (Bag 7)

Love From My Heart Oleh: Endik Koeswoyo (Bag 6)

Diposting oleh den_holic

Han membuka mata, dan sangat terkejut melihat gadis cantik itu telah berada disampingnya. Apalagi tangan gadis itu melingkar dipinggangnya. Pemuda itu mengusap-usap mata sepertinya tidak percaya dengan apa yang dialaminya, kemudian mengamati wajah ayu Nina yang terlelap. Suara merdu lagu syahdu melantun pelan. Han lalu mengamati jam dinding yang ada dikamar itu, sudah menunjukkan angka satu dini hari.

Hanya diam yang  dia bisa, memandang lagi kearah gadis yang memeluknya dengan erat.  Entah berapa lama Han mengamatinya, berbagai macam pikiran berkecamuk didalam otaknya, antara percaya dan tidak percaya. Lalu dia mangangkat tangan Nina pelan-pelan. Pemuda itu memutuskan bangun dan menengok keluar melalui jendela kaca, tak ada siapun diluar sana. Hanya terdengar nyaian jangkrik-jangkrik kecil. Han melanglah menuju kamar mandi dipojok ruangan itu. Mencuci muka sambil mengamati bayangannya dicermin kecil yang menempel di dinding. Setelah itu Han keluar, duduk
dikursi dekat komputer sambil memandang Nina yang tertidur. Tak henti-hentinya dia mengamati gadis itu, cantik dan ah…pikirannya jadi ngelantur.

 “Sudah bangun Han?”

 Suara gadis itu mengagetkan lamunan pemuda itu.

 Han hanya tersenyum kecut.

 “Sudah tidak usah dipikirkan, tidur lagi aja lagi!” dari atas kasur busa itu Nina berbicara padanya.

 “Kenapa aku tidak dibangunkan dari tadi Nin?” ucap Han pelan.

 “Kamu tidurnya pulas sekali, aku jadi tidak tega.”

 Nina lalu bangun dari tempat tidurnya, menghampiri Han yang terduduk lesu dikursi. Gadis itu lalu memegang tangannya.

 “Sudah tidak usah dipikirkan, tidur lagi!’’ sambil menarik lengan pemuda yang terdiam sedari tadi. 
 Dia hanya menurut saja saat Nina menarik tangan lemas itu dengan pelan. Kini mereka berdua telah kembali berada diatas pembaringan. Lagi-lagi Han hanya memandang gadis yang ada disampingnya itu, mengamati lekuk-lekuk tubuh yang terbungkus daster tipis warna biru dengan bunga-bunga mawar warna-warni. Desah nafasnya terdengar pelan bersamaan dengan tangan gadis itu yang  kembali melingkar dipinggangnya.

 Mata mereka beradu pandang, saling menyelam kedalam hati masing-masing. Cukup lama mereka hanya saling menatap tanpa ada sepatah katapun yang terucap. Lalu, Han melingkarkan tangannya ketubuh sintal itu.

 “Sorry ya Nin, aku jadi merepotkanmu.”

 “Merepotkan apanya?”

 Suara manja Nina seakan menggetarkan hati, dan Han hanya bisa terdiam lagi. Tidak menjawab pertanyaan dari Nina. Tubuh mereka semakin dekat, pelukan itu semakin erat. Entah siapa yang memulai, bibir itu kini telah semakin dekat dan sangat dekat. Desah nafas itu kini telah menjadi satu.
More aboutLove From My Heart Oleh: Endik Koeswoyo (Bag 6)

Love From My Heart Oleh: Endik Koeswoyo (Bag 5)

Diposting oleh den_holic

“Jack, kamu tadi dicari Han!” Pay menghampiri Jack.

 “Katanya dia tidak kekampus?”

 “Mungkin berubah pikiran, aku baru saja ketemu di loby.”

 “Dia masih disana Pay?”

 “Iya.”

 “Aku kesana dulu ya!”

 “Ya.”

 Jack meninggalkan kantin, menelusuri lorong itu menuju keruang loby. Beberapa kali dia menyapa teman yang berpapasan dengannya.

 “Ada apa Han?” Jack langsung menyapa Han yang sedang duduk dikursi panjang sambil melihat televisi.

 “Eh… kamu  bisa kirim e-mail nggak?”

 “Ha…hari gini nggak bisa kirim e-mail ha…ha…?” sambil menirukan sebuah iklan Jack menjawab pertanyaan Han.

 “Hus…jangan keras-keras!”

 “Kenapa?”

 “Malu.”

 “Ah…kamu sih, punya komputer cuma bisa buat ngetik doang, gaul dong!”

 “Ah…iya-iya, bisa nggak?”

 “Bisa, kapan?” jawab Jack meyakinkan Han.

 “Tahun depan!’’

 “Ceileh…ngambek nich?” goda Jack.

 “Bisa nggak?”

 “Aku masih ada satu mata kuliah lagi.”

 “Ya sudah, aku menunggu disini!”

“Kamu mau nungguin aku?” Jack tampak tidak yakin.

“Iya, emang kenapa?”

“Tumben, sepenting apakah e-mail itu?”

“Ah…tidak usah banyak tanya napa?”

“Iya…iya…aku masuk dulu ya!”

“Yuup.”

“Yakin mau nunggu?” Jack bertanya sekali lagi.

“Iyaaaaa…,” Han tampak sebel.

Teriakan pemuda  itu membuat beberapa orang yang duduk-duduk di-loby melihat kearah mereka. Jack dan Han hanya tersenyum.

“Kamu sabar ya!” Jack tersenyum, lalu dengan nada mengejek dan sambil memegang bahu Han  dia berkata seperti itu.

Walau tau kalau dia mengerjainya, Han malah tersenyum simpul padanya walau tidak lagi memperhatikan Jack yang melangkah pergi meninggalkannya.

 Setelah Jack pergi, Han membuka tasnya. Mengeluarkan Koran yang tadi malam  dibaca. Lagi-lagi Han mengamati gambar wanita disudut bawah Koran itu. Setelah puas memandangnya dia melangkah keluar, memandang sebuah tempat sampah didekat pintu masuk dan melemparkan koran itu kedalamnya.

 “Kalau mukzijat itu adalah aku, maka kita pasti akan bertemu. Akan kuberikan sepatu kaca dari dalam mimpiku padanya. Akan kuberikan cintaku, walau bukan lagi cinta pertama,” suaranya lirih namun dapat terdengar.

 Han kembali kedalam ruangan itu, duduk ditempatnya semula. 

 Setelah meyakinkan dirinya sendiri, pemuda hitam manis dengan baju hitam itu kembali duduk di kursi panjang. 

 “Han…novelnya sudah jadi belum belum?” seorang gadis dengan rambut sebahu menghampirinya. Nina gadis cantik dengan kulit bersih. Teman satu kampus Han.

 “Eh…kamu Nin. Belum jadi masih sembilan puluh halaman.”

 “Rencananya berapa halaman?” sambil duduk disampingku.

 “Paling seratus lima puluh. Tidak ada kuliah?” lanjut Han berbasa-basi.

 “Baru keluar, kamu?”

 “Tidak ada,” jawab Han singkat.

 “Tumben tidak ada kuliah tapi tetap kekampus?”

 “Lagi bete, tidak ada teman dirumah.”

 “Main kekostku aja yuk!” Nina tersenyum kecil.

 “Sekarang?” Han mengerutkan dahinya.


 “Iya, sekalian ngantar aku pulang.”

 “Kamu tidak bawa motor?” tanya Han lagi.

 “Dipakai Adek,” jelas Nina.

 “Tapi makan dulu ya?” Han memberikan sebuah pendapat.

 “Kamu belum makan?’’

 “Belum.”

 “Didekat kostku ada warung yang enak kok, kamu pasti suka.”

 “Serius?” Han tersenyum.

 “Iya.”

 “Berangkat sekarang?” tanya Han.

 “Kalau kamu tidak merasa terganggu sich,” Nina tersenyum senang.

 Han dan Nina berdiri, menuju ketempat parkir. Sebentar kemudian mereka telah berada diatas motor dan siap berangkat.

 Selama dalam perjalan tidak banyak yang mereka bicarakan. Baik Han maupun Nina seakan hanya menikmati lalu lalang kendaraan sepanjang jalan yang mereka lewati.

 “Han…aku kok tidak pernah melihatmu jalan bareng dengan seorang wanita?”

 “Lha…sekarang ini, memang kamu laki-laki?” Han tertawa kecil.

 Sebuah cubitan kecil mendarat dipinggang pemuda itu.

 “Maksudku dengan pacar kamu!” tegas Nina lagi.

 “Lagi dalam tahap negosiasi,” jawab Han sekenanya.

 “Apanya?” Nina penasaran.

 “Ya…calon pacarnya,” lanjut Han masih dengan senyumnya.

 “Pacar kok nego sih?” Nina cemberut manja.

 “Habis mau di apain lagi, langsung jadian?”

 “Ha…ha…kamu lucu juga ya?” Nina jadi tertawa.

 “Iya…aku kan pernah jadi badut,” Han menggoyang kepalanya.

 Nina tertawa terpingkal-pingkal mendengar jawaban yang sekenanya itu.

 “Mana warungnya?”

 “Tuh… didepan belok kanan!” Nina menunjuk sebuah pertigaan di depan mereka.

 Setelah melewati pertigaan itu, Han menghentikan motornya didepan sebuah warung yang ramai pengunjung.

 “Wah…ramai banget.”

 “Begitulah, apa-apa kalau enak dan sesuai pasti laku.”

 “Ah…belum tentu, buktinya aku yang enak, sesuai, baik dan tidak sombong belum juga laku?” Han menggoda Nina.

  Nina melirik kearah pemuda tampan di hadapannya yang tertawa lebar. Bila di lihat dari jarak yang cocok, pemuda itu tidak jauh beda dengan Nugie, potongan rambutnya, tingginya bahkan caranya tersenyum juga mirip.

 “Kamu duduk aja disana, biar aku yang ambil!” Nina menunjuk sebuah meja kosong disudut ruangan itu, dan hanya meja itulah yang kosong dari sekian banyak meja yang berjajar.

 Han melangkah kearah meja yang dimaksud dan memberikan sedikit senyuman saat melihat Nina berjalan kearah kerumunan orang yang antri mengambil menu. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Nina datang dengan dua porsi makanan yang sama.

 “Kok kamu tau aku suka ayam goreng dan sayur asem?” Han tampak heran dengan menu di hadapannya.

 “Aku sering melihat kamu makan dengan menu seperti ini dikantin,” Nina tersenyum bangga.

 “Kamu tau nggak? Baru kali ini lho, aku dilayani oleh gadis secantik kamu,” Han tersenyum sambil melirik kearah Nina.

 “Tuh…kan mulai merayu!’’ Nina tampak malu-malu.

 “Suer,” sambil mengangkat tangannya.

 “Beneran?” tanya Nina yang semakin tersipu.

 “Mau percaya silahkan, enggak juga nggak apa-apa!”

 Mereka lalu mulai menyantap makanan itu, sesekali Han melihat kearah gadis didepannya. Saat beradu pandang mereka hanya saling tersenyum.

  “Han…dengar-dengar dari kalian ber-empat belum ada yang punya pacar ya?”

 “E…mau jawaban yang jujur apa yang asal?”

 “Yang jujur dong!”

 “Bener.”

 “Beneran?” Nina meyakinkan.

 “Iya.”

 “Alasannya?” tanya Nina lagi.

 “Nggak tau, mungkin nggak laku.”

 “Kurasa, tidak ada yang kurang dari kalian ber-empat.”

 “Emang gitu?”

 “Sepertinya iya.”

 Han lalu terdiam, begitu juga Nina. Setelah selesai makan mereka berdua melanjutkan perjalan ketempat kost-nya Nina. Sesampainya di depan pintu pemuda itu tertegun.

 “Wah…kamarmu bagus ya?”

 “Biasa saja, silahkan masuk.”

 “Sebenarnya aku takut lho!”

 “Takut apa?”

 “Kalau masuk kedalam,” Han tersenyum kecil sambil menyandarkan tubuhnya di daun pintu. 

 “Kenapa?” Nina tampak heran.

 “Biasanya aku langsung tertidur bila berada disebuah kamar yang indah dan bersih,”  memandang beberapa lukisan yang menempel di-dinding kamar itu.

 “Ya sudah tidur aja, tidak ada yang marah kok.”

 Setelah masuk keruangan itu Han langsung merebahkan tubuh dikasur busa beralaskan seprei biru dengan bunga-bunga sedikit merah. Sebuah guling berwarna pink di peluknya dengan erat.

 “Tidur saja nanti pasti kubangunkan, aku mau ngerjain tugas dulu.” 

Nina duduk menghadap komputer.

 Tidak lama kemudian susana telah menjadi hening. Nina sibuk dengan komputernya dan Han telah terbang kealam mimpi yang indah.



More aboutLove From My Heart Oleh: Endik Koeswoyo (Bag 5)

Love From My Heart Oleh: Endik Koeswoyo (Bag 4)

Diposting oleh den_holic on Sabtu, 10 Maret 2012

 “Han…bangun, sudah siang!”

“Entar dulu ah!” jawab Han malas.

“Tumben kamu se-siang ini masih molor?”

Han membalikkan tubuhnya, tapi tidak menjawab pertanyaan Arif. Hanya memandang dari balik bantal yang ditutupak di diwajah.

“Kamu nggak kuliah?”

“Nggak,” sahutnya dengan nada malas.

“Ya sudah, molor terus!” Arif meninggalkan kamar itu, berjalan kearah ruang tamu lalu menemui kedua sahabatnya yang sudah menunggu.

 “Mana Rif?” tanya Pay.

 “Siapa Pay?”

 “Han,”

 “Masih molor, tidak mau bangun.”

 “Biarin aja, hari ini dia tidak ada kuliah,” celetuk Jack cepat.

 Sepertinya tiga pemuda sebaya itu sudah terlihat rapi. Jack, Pay dan Arif duduk diruang tamu, dimeja kecil itu telah berjajar cangkir-cangkir berisi kopi.

 “Ada yang aneh pada diri Han akhir-akhir ini?”

 “Ah…Pay, seperti tidak tau siapa dia saja?”

 “Tapi Jack, sudah siang gini belum bangun!”

 “Mungkin tadi malam tidak tidur.”

 “Ngapain?”

 “Biasa, nyelesain novel terbaruya.”

 “O…pantesan, jarang keluar dari kamar.”

 “Rif, kenapa kamu hanya diam saja?” Jack melihat kearah Arif yang hanya terdiam sambil menikmati rokoknya.

 “Apa kalian percaya pada jodoh?”

 Kedua temannya hanya diam, tidak langsung menjawab pertanyaan Arif.

 “Kalo aku sih…percaya,” Jack memberi sebuah jawaban walau agak ragu.

 “Kalau kamu Pay?” Arif menatap Pay dengan tajam.

 “Percaya, hanya saja jodoh tidak akan diturunkan begitu saja.”

 “Maksudnya?” tanya Arif belum puas dengan jawaban itu.

 “Ya…kita harus mencarinya! Kita harus berkorban untuk mendapatkannya, dan tentunya jodoh kita adalah seseorang yang tepat di hati kita.”

 Mereka saling melihat, terdiam lalu tertawa.

 “Ha…ha…berarti kita harus mulai mencari dari sekarang!” Pay lalu tertawa.

 “Ha…ha…Rif, memang mudah cari pacar? Memang mudah mencari cinta? Kalau yang kita harapkan bukan cinta pertama lalu bagaimana?” Jack memberikan beberapa pertanyaan di sela tawanya.

 “Berusaha tidak ada salahnya Jack,” sanggah Arif lagi. 

 “Tidak usah ribut, itu masalah kecil,” celetuk Pay. 

 “Masalah kecil Pay?”

 “Iya, mungkin kita saja yang tidak sadar kalau banyak cewek yang naksir sama kita-kita?”

 “Putri itu tidak datang bila kita tidak mencarinya,” guman Pay pelan sesaat kemudian.


“Ha…ha…mungkin juga ya?” Jack seakan bertanya pada dirinya sendiri. 

Sedangkan Arif hanya bisa tersenyum simpul sambil memandang kedua sahabatnya itu.

 “Sudah ah…pagi-pagi yang dibahas malah jodoh!’’ ungkap Arif hendak menutup pembicaraan.

 “Ye…yang mulai kan kamu!” bantah Jack.

 “Iya, tapi batal,” Arif pura-pura sewot.

 “Ha…ha…,”mereka bertiga tertawa bersamaan.

 “Ayo, sudah siang nanti telat!” Pay menyahut tas pinggangnya yang ada di meja.

 Setelah membawa cangkir-cangkir itu kebelakang mereka berangkat kekampus. Sedangkan Han masih terlelap dalam tidur pagi. Menikmati mimpinya bersama Cinderella, dengan Roro Jonggrang dan Nawangwulan. Atau barangkali dia telah memberikan sepatu kaca itu pada gadis  cantik yang di impikannya.
More aboutLove From My Heart Oleh: Endik Koeswoyo (Bag 4)

Love From My Heart Oleh: Endik Koeswoyo (Bag 3)

Diposting oleh den_holic

Sudah larut malam, namun Han masih belum tidur. Membuka-buka lagi koran tadi siang, mengamati gambar seorang wanita cantik disudut kanan bawah, mengamati rambutnya yang tergerai sebahu, mengamati bibirnya yang merah merekah. Lalu pemuda itu  hanya bisa tersenyum sambil melipatnya kembali.

 “Han…sudah malam masih belum tidur?” 

Jack membuka pintu kamar. Tersenyum sesaat lalu melangkahkan kakinya menuju sebuah kursi yang ada di sisi ruangan. Jack memandang sahabatnya dengan tatapan yang cukup tajam sebelum mengalihkan pandangannya kesebuah poster hitam putih di sisi dinding yang lainnya.

 “Eh…kamu Jack, dari mana?’’ 

Han bangun dari tempat tidurnya, lalu duduk ditepi ranjang.

 “Dari tempat teman ngambil foto, mikirin apa?” sambung Jack.

Jack mengambil posisi yang nyaman di kursi itu. Matanya kini beralih kearah lembaran koran yang masih di pegang Han.

 “Ah…nggak, habis membaca koran,”  kemudian dia menyodorkan koran itu pada Jack.

“Kata Arif, kamu jatuh cinta ya?” senyumnya penuh tanda tanya seakan tidak percaya. Tangannya sigap menyambut koran itu.

 “Ha…ha…bukan jatuh cinta,” Han tertawa lebar, memandang Jack yang hanya tersenyum simpul.

 “Lalu?”

 “Baca aja, tuh ada beritanya!’’Han menunjuk kolom bawah koran yang barus saja disodorkannya pada Jack.

 “Mana?”

 “Tuh…cewek yang ada disudut bawah halaman depan.”

 Jack membacanya dengan serius, suasana menjadi hening. Hanya terdengar musik sayup-sayup dari radio dikamar sebelah. Matanya bergerak cepat dari satu sisi ke sisi lainnya mengikuti barisan huruf-huruf kecil itu. Mencernanya dengan otak lalu melanjutkannya kembali.

 “Kagum sama dia?” Jack menunjuk gambar wanita itu.

 “Iya, memang kenapa?” Han tetap tersenyum pada sahabatnya itu, meraka sungguh saling perhatian. Seperti sepasang saudara yang sedang menimbang perasaan untuk lebih bisa saling mengerti.

 “Tidak apa-apa, asal jangan jatuh cinta!”

 “Kalo aku jatuh cinta dan menikahinya, apa kamu masih mau menjadi sahabatku?”

 Jack hanya diam, mengamati Han. Memandang sedalam mungkin kearahnya, sepertinya dia menelusuri relung-relung hati sahabatnya itu. Mancari arti sebuah pertanyaan yang baru saja dilontarkan. Memang terkesan seperti sebuah gurauan menjelang malam. Hanya saja itu serius bagi Han. Dan angin malam juga mengangguk pelan mengiyakan. Belum lagi lagu sahdu yang melantun, walau terkesan cengeng
namuan syairnya nyata.

 “Aku tidak bisa menjawabnya sekarang, Han.”

 Sepetinya Jack yakin kalau sahabatnya memang tidak sekedar ngelantur. Setiap perkataan Han pastilah mengandung makna di pipkirannya. Semua memang terkesan aneh. Dan memang seperti itulah Han. Seperti sebuah gunung berapi yang selalu diam namun membahayakan. Seperti seekor semut kecil yang hanya berjalan hilir mudik sendiri, hanya saja selalu menyapa sahabatnya bila bertemu muka. Seperti laut yang tenang namun menyimpan sejuta pesona bahkan bisa menghancurkan.

 “Kenapa?’’ tanya Han singkat.

 “Ya…masalahnya sangat berat buatku,” sahut Jack sambil mengusap rambutnya.

 “Berat? Apanya yang berat?” 

 “Ya…aku belum bisa memberikan jawaban itu sekarang, perlu berpikir lebih lama lagi,” Jack tampak bingung dengan pertanyaan Han itu.

 “Ha…ha…jangan terlalu dipikirkan, lagian wanita itu jauh dan aku tidak tau dia tinggal dimana?”

 “Tapi kalau sudah jodohmu, dan kamu dikirimkan padanya sebagai mukzijat?”

 “Ya…harus disyukuri,” jawab Han enteng. 

 “Sejauh mana Tuhan mengatur umat-Nya, tidak ada yang tau,” ucap Jack lirih.

 “Tidak juga dengan pertemuanku dengannya?”

 “Ya…bisa saja kamu adalah pangeran yang dikirimkan untuknya. Kamu juga tidak tau kalau dia adalah jalan untuk menemukan cintamu. Masih banyak alternative lain tentang sebuah cerita Han!”

“Tapi apa kamu percaya tentang Cinderella dan sepatu kacanya?”

 “Aku lebih percaya dengan kisah Nawangwulan dan Joko Tarub,” kata Jack pelan.

 “Tentang selendang bidadari itu?” tegas Han.

 “Yuup…atau tentang Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso.”

 “Kenapa Jack?” tanya Han lagi.

 “Mereka pada akhirnya tidak bisa bersama,” sahut Jack lirih.

 “Romeo?”

 “Aku tidak tau, tapi rasanya tidak mungkin kamu rella mati demi gadis itu.”

“Seandainya aku melakukan itu?” Han meyakinkan sahabatnya dengan senyum kecilnya.

“Maka akulah yang menangisi mayatmu untuk yang pertama kali.”

“Kenapa?”

“Kamu orang paling aneh yang aku kenal. Kamu juga manusia langka yang aku temukan. Posisi imajinermu sangat memukauku. Belum lagi cara berpikirmu ketika kamu adalah manusia normal.”

“Ha…ha…memangnya aku terkadang menjadi tidak normal?”

“Kenapa tertawa Han? Kamu tidak menjadi normal ketika yang kamu pegang adalah buku dan bolpoin. Kamu bisa kemana saja dan berbuat apa saja dengan itu.”

“Semua tergantung yang menilai Jack! Tapi kalianlah sahabat terbaik yang pernah aku punya.”

“Tapi apapun yang kita alami pastilah telah di perhitungkan oleh Sang Pencipta.”

“Tentang mati dan hidup?”

“Yuup…” sahut Jack yakin.

“Aku suka itu jack, aku suka!”

  Sepertinya mereka berdua semakin serius membahas wanita dalam Koran itu. Membicarakan tentang kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi. Menjadikannya sebuah guyonan sebelum tidur. Atau barang kali mereka ingin menciptakan dongeng baru tentang sebuah kisah romatis yang dramatik.

“Han…aku tidur dulu ya!” Jack melangkah keluar dari kamar.

“Jack! Arif dan Pay sudah tidur?”

“Sudah dari tadi, met malam semoga kamu menemukannya dalam mimpi, ha…ha…,” sambil tertawa Jack meninggalkan ruangan itu, menutup pintu kembali dan melangkah menuju ruangan diseberang.

Han merebahkan tubuhnya kembali. Mebiarkannya terlentang tanpa selimut. Matanya menerawang jauh. Hampir lima belas menit dia terdiam, terbaring dan masih belum juga terpejam. Tiba-tiba saja dia teringat sebuah buku tentang HIV yang didapatnya beberapa hari lalu saat seminar. Pemuda dengan rambut sedikit panjang itu lalu bangun, turun dari ranjang dan melangkah kearah rak-buku disudut ruangan. Melihat satu demi satu buku yang tersusun rapi itu. Pada akhirnya dia tersenyum, sepertinya buku yang dicari telah ketemu. Sebuah buku kecil berwarna pink. Dengan senyumnya yang khas, dia kembali ketempat tidur dan membacanya halaman demi halaman.
More aboutLove From My Heart Oleh: Endik Koeswoyo (Bag 3)

Love From My Heart Oleh: Endik Koeswoyo (Bag 2)

Diposting oleh den_holic on Senin, 05 Desember 2011

      “Han lihat…gadis secantik dia terkena HIV positif!” Arif menyodorkan koran yang dibacanya.
     “Mana?” Han mengambil koran pagi itu dari tangan Arif dan membacanya, lalu melihat foto wanita dengan rambut sebahu itu.
      “Han…apa ada ya yang mau menikah sama dia?”
      “Mungkin juga  ada,” Han masih saja membacanya.
      “Kasihan ya?” Arif menghela nafas panjang.
      “Tidak juga, aku hanya salut dengan kata-katanya.”
      “Mana Han?”
     “Nih…’Aids hanya untuk orang-orang yang berdosa saja’!”  menunjukan tulisan yang dimaksud pada sahabatnya yang sedang menikmati masakan Padang itu.
      “Apa benar?” Arif mengerutkan dahinya.
    “Ya…siapa yang tau Rif, mungkin benar mungkin juga salah,” Han menarik nafas panjang. “Tapi seandainya aku bertemu dengannya, aku mau menikahinya?” lanjutnya lagi.
     “Hah…menikahinya?” Arif seakan tidak percaya pada kata-kata sahabatnya.
     “Kenapa?” Han tersenyum sembari melirik Arif yang sepertinya terkejut dengan kata-katanya.
     “Kamu akan menikahinya?” Tanya Arif sekali lagi.
     “Iya!” Han menjawabnya dengan tegas.
     “Gila…apa tidak ada wanita lain?”
    “Bukan begitu masalahnya, lihat dia berkata –bila ada lelaki yang mau menikahinya itu adalah mukzijat dari Tuhan, siapa tau mukzijat itu adalah kamu atau aku?”
    Mendengar kata-kata itu Arif terdiam sejenak. Angin yang menerobos dinding bambu membuat bulu kuduknya berdiri sesaat secara tiba-tiba.
    “Tapi apa kamu mau bermain-main dengan nyawamu?”
    “Hidup mati seseorang ditentukan oleh Sang Pencipta, benarkan?”
   "Tapi sekarang bukan jamannya Cinderella, tidak ada lagi sepatu kaca yang mempertemukanmu dengan sang putri, tidak ada pula pangeran yang akan datang dengan sepatu kacanya! Kalau boleh jujur, cinta itu datangnya dari hati, bukan dari mukjijat.”
    “Maksudnya?” Han mengajukan pertanyaan itu.
   Arif tidak menjawab pertanyaan itu, dia hanya diam mengambil koran dari tangan Han. Lalu membacanya sekali lagi.
    “Rif…seandainya dia datang padamu dan memintamu menjadi suaminya apa kamu mau?”
    “Aku tidak tau,” Arif menghela nafas panjang.
    “Ha…ha…dengan wanita normal saja kamu takut, apa lagi wanita seperti itu.”
    “Kenapa kamu tertawa Han?”
   “Entahlah, aku juga bingung Rif,” Han menghela nafas pelan.  Han menepiskan piring kosong di hadapannya. Diambilnya segelas air putih lalu menenggaknya hingga habis. Arif masih mengamati baris-baris huruf kecil di hadapannya. Setelah membacanya sampai selesai, lagi-lagi pemuda itu menghela nafas. 
   “Sebenarnya, aku nanti harus pulang,” Arif melipat koran itu dan menaruhnya di atas meja. Di samping gelasnya yang juga sudah kosong.  
    “Kemana Rif?”
    “Pulang kampung, aku sudah lama tidak pulang.’’
    “Jam berapa?” tanya Han meyakinkan.
    “Mungkin malam, biar lebih tenang dan bisa tidur di-bus,’’ sahutnya lagi.
     Mereka berdua terdiam, Arif sibuk dengan tusuk giginya, sedangkan Han seakan memikirkan sesuatu yang entah itu apa. Sesuatu yang hanya di ketahui oleh dirinya sendiri, atau bahkan dia juga tidak pernah tau apa yang di lakukannya saat itu.
   “Kamu tidak kekampus?” Pertanyaan itulah yang menyadarkan Han dari diam singkatnya. Matanya kini tidak lagi kosong, ada senyum sahabatnya di sana.
    “Tidak, lagi males Rif.”
    Kedua sahabat itu kini telah berjalan lagi kembali kerumah. Hanya kali ini mereka lebih banyak diam dan membisu.
     “Aku kekampus dulu ya!” celetuk Arif ketika sampai di depan pintu.
     “Ya…,” sahut Han pelan. “Hati-hati, salam buat semuanya,” lanjutnya sesaat kemudian.
     “OK.”
     Arif meninggalkan Han sendiri dirumah itu. Rumah kontrakan mereka berempat, dengan pagar bunga mawar. Sungguh sebuah rumah yang pantas dihuni oleh gadis-gadis cantik. Indah…
    Dari luar terlihat sangat bersih dan rapi, bunga-bunga dihalaman depan tumbuh subur, sepatu tersusun rapi diteras. Sebuah kolam kecil dengan ikan warna-warni. Juga cat warna biru laut menambah suasana romantis yang selalu membawa kedamaian dan ketenangan.
      Memang aneh bila mereka ber-empat belum ada yang mempunyai kekasih. Han adalah pemuda yang lumayan tampan, diusianya yang ke-duapuluh dua ini dia sudah pernah berkeliling keberbagai pulau Jawa, Kalimantan, Sumatra, Bali bahkan pulau Lombok dengan pantai Senggiginya yang Indah, suka menulis cerpen, puisi dan novel. Walau dia menerbitkannya secara indie. Penghasilannya cukup untuk makan atau setidaknya untuk tambahan uang saku. Jack yang anak orang kaya itu juga tidak mempunyai sifat sombong, selalu rapi kemanapun dia pergi. Pay juga sangat ramah tamah, suka humor dan mempunyai hobi yang unik, memelihara hara ikan. Sopan dalam bertutur sapa dan selalu menghormati siapa saja. Begitu juga dengan Arif, sesuai dengan namanya bijaksana walau terkesan agak kaku dalam berbicara, tapi ide-idenya cemerlang, selalu juara didalam kelas. Tapi kenapa tidak satupun gadis mendekati mereka? 
     Terkadang mereka ber-empat bercanda hingga larut malam, sebuah persahabatan yang indah benar-benar indah. Dari berbagai tempat berbeda bertemu disuatu kota dan menjadi teman. Itulah mereka, walau tanpa cinta tetap tersenyum dengan semangat yang sama. Sukses menurut ukuran masing-masing. Menurut mimpi sendiri-sendiri.
More aboutLove From My Heart Oleh: Endik Koeswoyo (Bag 2)

Love From My Heart Oleh: Endik Koeswoyo (Bag 1)

Diposting oleh den_holic

Penjelasan :
Berikut adalah novel karya Endik Koeswoyo yang saya copas ke dalam blog ini. Pemuatan e-novel ini hanya untuk menjadi renungan bagi sobat pemimpi sekalian. Karena yang bermimpi pun telah mendapat pelajaran dari novel ini.

cc: http://endikkoeswoyo.blogspot.com
http://endikpenulis.multiply.com

SATU

      Angin pagi yang datang menggetarkan sendi-sendi yang tersikap dari balik selimut tipis. Pagi yang cukup cerah walau hanya bertahan beberapa menit saja. Sebentar lagi pasti akan berganti dengan udara pengap dan deru kendaraan bermesin yang sangat mengganggu. Belum lagi debu jalanan di musim kemarau ini. Semua sepertinya berubah sangat cepat. Kisah indah burung kutilang dan ayam jantan di pagi hari kini benar-benar menjadi dongeng. Burung kutilang yang bernyanyi sekarang berganti dengan berita pagi yang penuh emosi. Kerusuhan, demo dan belum lagi cekokan gosip selebriti. Hah...di mana burung nuri pagi ini, atau di mana burung gereja tidur malam tadi?
      Sepagi ini Han telah terbangun, menyibak asap-asap yang tertinggal diruangan itu. Tersenyum manis melihat beberapa temanya yang masih tidur dilantai, beralaskan permadani merah pekat dengan ukiran bunga-bunga putih. Menuju kamar mandi merupakan pilihan yang terbaik, mengguyur tubuh yang lemas dengan bergayung-gayung air dingin sambil berdendang lagu melayu. Setelah merasa segar kembali, pemuda itu mulai membangunkan teman-temannya yang masih saja terlena dengan mimpi paginya.
      “Hai…kuliah nggak!” katanya pada Arif, yang sedang mendengkur.
      “Jam berapa?” masih dengan nada yang sama, malas.
      “Sudah jam delapan!” cara bicaranya terkesan kalem, tenang dan seakan penuh kedamaian memaksa Arif untuk tersenyum. Setelah Arif, Jack dan Pay dibangunkannya satu persatu, Han melangkah kekamar mandi. Benar-benar pagi yang indah. Beberapa menit setelah itu Pay dan Jack sudah siap berangkat.
       “Han…berangkat dulu ya!” ucap Jack sembari tersenyum simpul.
       “Masuk jam berapa?” tanya Han meyakinkan.
       “Jam sepuluh, cuman sekarang ada tugas motret,” Pay menimpalinya. 
     “Ya…hati-hati, mungkin nanti aku segera menyusul,” sambil melambaikan tangan pada mereka berdua yang sudah berada diatas motor.
       Persahabatan yang indah yang mungkin tidak dimiliki orang lain. Kini tinggal Arif dan Han yang sedang duduk dikursi ruang tamu. Keduanya berbincang sebelum berangkat ke kampus. 
        “Semalam dapat berapa halaman Han?” Arif membuka obrolan pagi itu.
        “Lumayan dapat dua puluh halaman lebih,” Han tampak mengusap wajah letihnya.
        “Wah…hebat, makan-makan dong!”
     “Iya kalau tembus, kalau tidak? Kamu tau sendirikan kalau penerbit itu nggak mau asal menerbitkan?” Han tersenyum kecil melihat semangat sahabatnya itu.
         “Bukankah ceritamu bagus?” Sahut Arif cepat.
         “Siapa yang menilai? Bagus kalau tidak menjual?” Han memberikan sebuah alasan.
       “Tergantung cara kita saja, bagaimana bisa menarik minat mereka? Menjual atau tidak itu urusan distributor dan marketing!?” sanggah Arif lagi.
         “Ha…ha…jangan berhayal dulu deh!’’Han menepuk bahu sahabatnya itu.
         “Lho kalau tidak dapat uang, ngapain harus menulis?” celetuk Arif dengan pelan sekali lagi.
         “Sebuah kepuasan.” jawab Han singkat.
         “Hanya itu?” tanya Arif lagi.
         “Entahlah…” 
         Suasana hening sesaat.
         “Rokokku mana ya?’’ Arif berdiri sambil mencari-cari rokoknya diatas meja.
         “Habis, beli sana!” Han menyodorkan selembar uang pada Arif.
         “Cuma rokok?”
         “Sama jeruk hangat juga bisa!” Han tersenyum pada sahabatnya yang sudah mendekati pintu.
       Tak lama kemudian Arif telah muncul dengan secangkir kopi dan jeruk hangat. Duduk kembali dikursi itu. Sahabat yang satu ini sungguh mengagumkan, pokoknya keren. Selalu menjadi teman terbaik saat susah dan senang. Mudah menyesuaikan diri dengan  berbagi macam situsi.
        “Sarapan dulu Han?”
    “Bentar lagi, masih belum lapar benar. Lagian situasi krisis seperti ini sebaiknya kita tidak membiasakan diri untuk sarapan pagi. Ha...ha...” Han tertawa kecil.  
       Arif tidak ikut tertawa. Pemuda itu hanya memandang tajam sahabatnya yang masih ngakak. Sesaat suasana menjadi hening. Lalu kepulan asap mulai memenuhi ruangan pagi itu. Ya...begitulah pemuda, rokok lebih utama dari pada sarapan pagi. 
       “Bagaimana dengan pacar barumu?” Arif membuka kebisuan sesaat itu.
       “Pacar baru, yang mana?”
      “Yang kemarin datang kesini!” tersenyum seakan mengejek lawan bicaranya, dan tentunya itu adalah Han yang duduk tidak begitu jauh di sampingnya.
     “Oh…itu bukan pacar baruku, tapi teman baru yang minta tolong,” Han seakan memberi sebuah penjelasan pada sahabatnya.
      “Kamu itu cakep, keren abis, punya bakat, pokoknya semuanya ada padamu,tapi…?” Arif terdiam tidak dilanjutkan ucapannya tadi.
       “Tapi kenapa?” sebuah pertanyaan yang membutuhkan sebuah jawaban segera.
       “Tidak bisa mencari pacar, ha…ha…!” Arif tertawa sekali lagi.
     Mereka berdua tertawa, entah karena bahagia atau sedih atau hanya tawa yang dibuat-buat untuk memecah rasa penat di hati.  
       “Apa kamu punya?” Han balik bertanya pada Arif yang masih terpingkal.
       “Nah…itulah kesalahan kita, kenapa kita tidak berusaha mencari ya?”
       “Memang mudah?” Han balik bertanya.
       “Sepertinya, kita ini tidak terlalu jelek!?” Sebuah  pembelaan yang wajar dan terkesan klasik dan itu membuatnya tertawa lagi.
        “Ha…ha…alasan kuno, apa kamu juga sudah berkaca?”
        "Ha…berkaca? Belum perlu Han! Belum perlu kita untuk berkaca terlalau lama,” Arif mengeluarkan sebuah penyangkalan.
     “ Sebenarnya ada banyak alasan kenapa kita belum mempunyai pacar Rif.” Han menyandarkan tubuhnya ke sofa coklat itu.
        “Apa Han?” Sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
        “Entahlah, itu yang harus kita cari,” sahut Han sekenanya.
        “Apa kita terlalu takut?” Arif memegang kepalanya sendiri.
        “Takut untuk apa?” Han balik bertanya pada sahabatnya yang tampak bingung itu.
        “Ya…untuk berbagi cinta,” sahut Arif pelan.
        “Apa kamu dapat merasakannya dariku?”Han bertanya sekali lagi.
        “Tidak…! Bahkan kamu paling suka mengamati wanita cantikkan?” Arif tersenyum kecil.
        “Berarti kita normal-normal saja?” tanya Han sekali lagi.
       “Sepertinya ya…,” dengan nada yang sedikit ragu, lalu mengambil cangkir kopi dan meneguk cairan hitam itu. 
        Cukup lama mereka terdiam. Mengembara ke masa lalunya masing-masing. 
        “Han…kudengar kamu dulu punya banyak pacar ya?” 
       Arif memandang Han, mengharap sebuah jawaban yang pasti bukan sebuah gurauan. Matanya tajam mengorek-mengorek kedalam hati lawan bicaranya. Memasukkan tangan-tangannya yang kokoh dan berusaha mengeluarkan semua isi dalam otak yang terpendam lama sekali.
         “Kata siapa?”
         “Kata temanmu satu SMU.”
        “Nggak kok, memang ada yang mau sama aku?” Han berusaha membantah perkataan sahabatnya itu.
         “Serius Han!” Arif tampak penasaran.
         “Kalau iya kenapa, kalau tidak kenapa?” Han mengajukan pertanyaan tuntutan.
      “Ya…sekedar buat nambah ilmu,” Arif menjuhut gelas berisi kopi di hadapannya. Dia seakan benar-benar mengharapkan jawabannya adalah ‘iya’.
          “Iya…tapi itu dulu,” sahut Han pelan sambil menunduk.
          “Berapa lama?”
         “Tiga tahun lalu,” Han seakan mengingat masa itu.
      “Pacarmu banyak?” Arif mengatur posisinya, mengharapkan sebuah cerita yang seakan sangat menarik baginya.
         “Kalau aku cerita apa kamu percaya?”
         “Percaya, aku tau kamu bukan seorang pembohong,” Arif tersenyum kecil.
         “Dari mana kamu tau?” Han berusaha meyakinkan hatinya.
       “Kita tinggal satu rumah tidak sebentar, lagian kamu orangnya tertutup dan pasti punya banyak cerita yang hanya kamu simpan sendiri!” Arif memberikan sebuah argumen tasi.
      Sebelum memulai ceritanya, Han mengangguk-anggukan kepala. Menikmati jeruk hangat yang sudah mulai dingin, menikmati kepulan asap penat dari batang rokok yang sedari tadi tetap dipegang erat.
       “Sebenarnya tidak banyak.”  Matanya menerawang jauh, tidak memperhatikan lawan bicaranya yang tentunya sudah menunggu lama bagaimana cerita selanjutnya. 
         “Berapa?”
         “Saat itu yang benar-benar bareng hanya tiga orang,” Han menghentikan ucapannya.
         “Tiga orang?” Arif sekan terperangah dengan jawaban itu.
         “Iya, memang kenapa?” Han melihat kearah Arif yang seakan tidak percaya.
       “Hebat…, gumannya pelan. “Terus?” Sambil menepuk pundak pemuda disampingnya. Lagi-lagi Arif seakan kagum dengan apa yang baru saja  didengarnya.
         “Ya…biasa saja,” jawab Han lirih.
         “Biasa?”
         “Iya,” jelasnya sekali lagi.
         “Aku serius Han!”
        “Aku juga serius, memang biasa saja, jalan-jalan, makan, ketempat hiburan, keluar kota, menginap di hotel, bercanda, bertengkar, ya…cuma itu-itu saja.”
         “Semuanya?”
         “Yang pasti tidak dalam waktu yang bersamaan,” Han tersenyum sekali lagi.
         “Lalu sekarang?”
         “Sudah putus semua,” Han tersenyum kecut sesaat kemudian.
         “Kenapa?” tanya Arif antusias.
        “Yang satu sudah menikah dan punya anak, yang satu kuliah, yang satu lagi akan segera menikah.”
        “Dari ketiganya, apa kamu mempunyai perasaan yang berbeda?”
        “Tidak, semuanya sama.”
        “Sama bagaimana?”
       “Aku sama-sama mencintai mereka, sehari saja aku tidak melihatnya serpertinya sudah setahun.”  Arif hanya diam sambil melihat Han yang seakan menerawang jauh mengingat semua. “Lalu, bagaimana kalian bisa putus?” lanjutnya pelan.
        “Mereka meninggalkan aku begitu saja,” Han menunduk pelan mengingat semuanya.
        “Kenapa?” ucap Arif singkat.
       “Mungkin aku bukan lelaki yang baik, lagian aku juga bukan orang kaya. Cinta itutidak jauh berbeda dengan Ice Cream Rif! Nikmatnya ketika baru diambil dari mesin pendingin. Kalau sudah lumer ya rasanya bikin gimana gituh!?”
       Arif diam sebentar, berusaha memahami kata-kata sahabatnya sedetik yang lalu.
       “Eh…apa yang kalian lakukan saat dikamar hotel?” Arif terlihat sedikit malu-malu.
       “Biasa,” sahut Han singkat. 
       “Ayolah ceritakan!”
       “Paling makan-makan, duduk dilobi kamar, nonton film drama roman, mandi bareng, lalu tidur.”
       “Apa mereka mau diajak gituan?”
       “Gituan apa?” Han pura-pura tidak tau.
       “Ya…gitu deh!”
       “Tergantung, kadang mau kadang juga tidak.”
      Arif manggut-manggut tanda sependapat atau barang kali tanda kalau dia sudah mengerti dan puas  dengan cerita yang singkat itu, “saat kalian putus apa kamu sedih?” tanya Arif sekali lagi.
       “Iya…bahkan aku hampir bunuh diri,” jawab Han singkat. 
       “Serius?” Arif tampak tidak yakin dengan jawaban itu.
     “Iya. Tapi apa kamu percaya dengan ceritaku?” Han balik bertanya untuk kesekian kalinya. Han hanya tersenyum melihat Arif yang menerawang jauh tidak menjawab pertanyaannya.
       “Kamu, pernah pacaran?” Kini Han yang mengeluarkan pertanyaan itu.
       “Dulu, tapi nggak lama,” sahut Arif pelan.
       “Kenapa?”
       “Aku tidak suka diatur-atur,” sahut Arif yakin.
       “Berapa kali?”
       “Cuma sekali, setelah itu aku sepertinya takut sama cewek.”
      Sudah hampir habis kopi dan jeruk hangat itu. Han dan Arif masih sama-sama terdiam berkelana jauh mengejar kisah yang mungkin meninggalkan mereka.
       “Han…kenapa kamu sekarang tidak mencari pacar lagi?”
    “Aku juga tidak tau, mungkin aku trauma  atau barang kali memang nggak ada yang mau! Ha…ha…,” sebuah tawa yang dipaksakan.
       “Apa Jack dan Pay punya pacar ya… Han?”
       “Sepertinya belum, kamu bisa lihatkan?”
       “Apanya?” Arif tampak bingung dengan jawaban itu.
      "Ya…kelakuan mereka, sama-sama bloon seperti kita dan hanya berani tersenyum bila melihat wanita cantik atau  sekedar bersiul malu-malu,” Han tersenyum mengingat sahabat-sahabatnya itu.
        “Ayo kita makan dulu, ngomongin itu pasti tidak ada habisnya. ”
      Arif beranjak dari kursi itu dan Han hanya mengikutinya, melangkah menuju warung di belakang rumah. 
       Angin pagi tidak lagi dingin, kini telah bercampur dengan debu-debu jalanan dan deru mobil-mobil mewah. Matahari telah naik sepenggalah, memancarkan sinar panasnya yang menusuk kedalam hati. Mungkin juga menusuk ke dalam tulang-tulang kedua remaja itu. Memaksa mereka untuk berjalan lebih cepat dan sedikit menahan nafas. Duniaku, duniamu atau dunia siapa saja yang hendak berpijak di tanah ini seakan semakin pengap saja. Melangkah dengan hati-hati di balik hisapan asap rokok yang bercampur debu. Debu yang seakan bercampur keringat di pagi ini. Semua masih belum menemukan apa-apa,
hanya kegelisahan untuk mencari tau apa yang di carinya.
       Begitu juga dengan kedua sahabat itu, yang mereka cari belum juga di temukan. Apakah kebahagian akan bisa menjadi senyum untuk selamanya. Apakah mereka mampu bertahan di dunia yang semakin pengap dan penuh dengan penipuan dan rayuan busuk antar sesama. Belum lagi alam yang semakin tidak bersahabat. Belum lagi ekonomi yang semakin mencekik. Apakah tidak ada hak untuk selalu tertawa? Apakah ice cream akan selalu menjadi menu santapan senggang orang-orang-orang kaya?
More aboutLove From My Heart Oleh: Endik Koeswoyo (Bag 1)

CARITA SUNDA : NINI – NINI MALARAT JEUNG DELEG (GABUS) KASAATAN

Diposting oleh den_holic on Kamis, 29 September 2011


Jaman baheula aya nini-nini malarat teu kinten-kinten, papakéanana geus butut sarta laip, disampingna ogé, ngan ukur bisa nutupan orat.  Kitu deui dahar leueutna salawasna ngan sapoé sakali baé, malah-malah sakapeung mah datang ka potpisan sapoé dua poé henteu manggih-manggih sangu, ngan ukur nginum cai wungkul.  Ari buburuh dederep henteu kaduga jeung geus henteu laku, wantu-wantu enggeus kolot kurang tanagana.  Jadi kahirupanana taya deui ngan tina ngaroroték baé dina tegal-tegal atawa kebon awi, ari beubeunanganana dipaké nukeuran béas atawa cangkaruk ka tatanggana.                      
Pandéning imahna ngan sempil baé, ditangkodkeun kana pongpok imah baturna, kitu ogé hateupna bilikna geus balocor, wantu-wantu henteu aya pisan, anu daék nulung mangngoméankeun, ku tina henteu boga sanak baraya, sumawona anak incu, éstuning nunggul pinang.
Ari éta nini-nini téh sakitu nya kokolotanana henteu pisan nyaho ka gusti Allah, ulahbon ngalampahkeun téa kana paréntahna, jenenganana ogé henteu apal, pangrasana ieu bumi jeung langit téh jadi sorangan baé, euweuh anu midamel.
Dina hiji mangsa éta nini-nini geus dua poé henteu manggih-manggih dadaharan, sosoroh nukeuran sangu ka tatanggana taya nu méré.
Ti dinya manéhna tuluy ngajentul di imahna bari humandeuar pokna, “Aduh, cilaka teuing diri aing ieu, nya ayeuna paéh langlayeuseun téh”.
Sanggeus ngomong kitu téh, tulcel, boga niat rék ngaroroték deui ka tegal, bari sugan manggih dangdaunan atawa bongborosan nu ngeunah dihakan, keur tamba ulah langlayeuseun teuing.  Geus kitu bral leumpang ngajugjug ka tegal kaso urut nyundutan, anu deukeut kana talaga, sarta di sabeulahna deui nyandingkeun walungan gedé.  Barang datang ka dinya, éta nini-nini téh manggih lauk deleg pirang-pirang, rék pindah tina walungan kana talaga.  Sanggeus nepi kana tengah-tengah éta tegal kabeurangan, panon poé geus kacida teuing panasna, jadi deleg kabéh awakna taluhur kukumurna, ku tina seuseut datang ka henteu bisa maju leumpangna.  Kusabab éta deleg kabéh pada nyandang susah tanwandé manggih bilahi paéh kasaatan.
Di dinya éta nini-nini téh bungah kacida, pikirna geus tangtu manggih untung meunang lauk pirang-pirang boga keur nukeuran sangu.  Tapi manéhna héran neuleu aya hiji deleg, anu panggedéna ti sakabéh baturna, jeung deui leumpangna ogé pangheulana, kawas-kawas nu jadi ratuna sarta bisaeun ngomong, pokna, “Samiun Allah kuring neda hujan!  Samiun Allah kuring neda hujan!”  Kitu baé omongna bari tatanggahan ka luhur.  Ari ku nini-nini téh didéngékeun baé saomong-omongna éta deleg téh, hayang nyaho kumaha kajadianana.  Barang geus kira-kira satengah jam lilana datang hujan gedé naker wani cileungcangan, ti dinya éta deleg barisaeun deui leumpang tuluy kebat lumakuna, ari nini-nini téh datang ka ngadégdég awakna tina bawaning tiris kahujanan sarta léngoh balikna teu barang bawa.
Kacaritakeun éta nininini téh sanggeus datang ka imahna tuluy mikir bari ngomong di jero haténa, “Ih boa lamun aing ogé neda widi ka nu ngaran Allah téh, meureun di paparin, ari piomongeunana mah nya cara deleg téa baé, ngan bédana aing  mah rék neda uwang.
Ti dinya éta nininini ség baé tapakur di imahna, bari ngomong tatanggahan ka luhur nurutan sakumaha kalakuan deleg téa. “Samiun Allah kuring neda uwang! Samiun Allah kuring neda uwang!” Kitu baé omongna teu eureun jeung pikirna anték kacida panedana ka gusti Allah, datang ka geus teu aya pikiran deui ka nu séjén
Ari jalma anu imahna di tangkodan ku imah nininini téh, banget ngéwaeunana, ku sabab gandéng jeung bosen, saunggal poé unggal peuting ngadéngékeun omongna éta nininini, ngan kitu baé, taya pisan répéhna. Tuluy baé nyentak ka nininini téh pokna, “Nini! Répéh aing gandéng, ngan kitu baé euweuh deui kasab, moal enya Allah téh sumping ka dieu, seba duit ka manéh; jeung kitu baé mah anggur ngala suluh, ngala daun ka leuweung meureun aya hasilna; jeung deui; lamun manéh henteu beunang di carék, geura undur baé imah manéh ulah ditangkodkeun ka imah aing.
Panyentakna éta nu boga imah ku nininini henteu digugu, tonggoy baé ngomong nyuhunkeun duit ka Allah anggur beuki tambah maksudna.
Bareng geus nepi ka lima poéna, anu boga imah téh, beuki kacida garétékeunana, henteu beunang dicarék, sarta dititah undur henteu los. Ti dinya éta jalma tuluy nyokot karung goni beunang ngeusian ku beling, datang ka pinuh sarta dipékprékan, supaya jejel ambih beurat, niatna rék dipaké ngabobodo ka nini-nini téa, sina di nyanaan duit paparin Allah ragrag ti luhur, jeung sugan nyeurieun ditinggang tonggongna, ku éta karung ambih kapok moal ngomong kitu-kitu deui.
Kira-kira geus wanci sareupna ku éta jalma karung téh dibawa naék ka para, tuluy diponcorkeun tina sipandak ditindihkeun ka handap mener kana tonggongna nininini téh kalengger tina bawaning nyeri. Ana geus inget, nénjo aya karung ngadungkuk kacida atoheunnana, panyanana nya éta karung duit, paparin ti Alah.
Anu boga imah téh suka seuri nénjo kalakuan nini dug-dug deg-deg, semu banget atohna. Geus kataksir piengkéeunana bakal meunang éra kabobodo, karana nu dikarungan téh tétéla pisan yén beling.
Geus kitu karung téh disembah ku nini-nini téh bari ngomong kieu, “Nuhun Allah! Nuhun! Naha loba-loba teuing maparin duit téh, mana ari keur ajengan, aya kénéh nun?” Ti dinya tuluy geuwat dibuka. Geus kitu kersana nu agung, dumadakan éta beling kabéh jadi duit, aya uwang emas aya uwang pérak, jeung deui kumaha gedéna baé aya nu jadi ringgit, aya nu jadi ukon.
Ari isukna tatangga kabéh daratang ngadegdeg, yén éta nini-nini meunang bagja boga duit pirang-pirang, asal tina dibobodo, malah kapala distrik sumping ka dinya ngalayad, sarta tuluy dilaporkeun ka nagara jeung ditétélakeun asal purwana. Ari timbalan ti nagara, éta nini-nini henteu kaidinan cicing di kampung, bisi aya nu nganiaya dipaling duitna, jeung diurus dipangmeulikeun lembur imah, katut eusina. Ti wates harita éta nini-nini téh jadi sugih teu kinten-kinten.
Kitu deui dipikanyaah ku menak-menak tina saregep kumawulana jeung tambah alus budina, kalulutan ku jalma réa sobatna, tina suka tulung  ka jalma-jalma nu miskin, sumawonna ka nu keur kasusahan, margi ngaraskeun kadirina basa keur malarat kénéh.
Kacaritakeun éta jalma, anu méré karung beling téa, kabitaeun naker neuleu éta nini-nini téa jadi beunghar, lantaran dibobodo karung beling ku manéhna.  Geus kitu boga niat hayang nurutan.
Ti dinya tuluy nganjang, sejana rék badami, supaya dibales ku éta nini-nini téa sina nindih ku karung beling ka manéhna, pokna, “Nini saterangna éta duit téh asalna beling beunang kula ngarungan, dipaké ngabobodo ka sampéan, kusabab satadina kaula giruk ngadéngékeun ajengan ngomong baé nyuhunkeun duit ka Allah, tatapi ahir-ahir éta beling dumadakan wet jadi duit kabéh.  Ku prakara éta ayeuna kaula rék neda dibales ku sampéan, hayang ditinggang ku karung beling, karana tanwandé jadi duit ogé cara nu geus kalampahan, tatapi kaula mah hayang ditinggang ku dua karung, nu galedé, ambeuh kaula leuwih beunghar manan nini.  Wangsul nini téh, “Hadé heug baé geura tapakur, cara kaula baréto”.  Ti dinya éta jalma téh tuluy balik, sadatang ka imahna heug baé tapakur nurutan sakumaha polahna nini-nini téa sarta ngomong, pokna, “Samiun Allah kuring neda uwang! Samiun Allah kuring neda uwang!”  Kitu baé omongna jeung pikirna ujub kacida nangtukeun yén bakal meunang duit ti Allah dua karung goni parinuh.  Bareng geus nepi ka lima poéna, nini-nini téh tuluy ka imahna éta jalma nu keur tapakur téa, bari mawa dua karung beling beunang méprékan, sarta tuluy dibawa naék kana para, ti dinya heug éta dua karunganana ditindihkeun kana tonggongna.
Barang blug ninggang, sek baé kapaéhan malah-malah tulang tonggongna datang kapotong.
Arina inget ngageuwat ménta parukuyan ka pamajikanana, heug karung téh dikukusan, ari mentas dikukusan tuluy disembah, bari ngomong nurutan cara omong nini-nini téa, pokna, “Nuhun Allah! Nuhun! Naha maparin duit réa-réa teuing, mana ari keur ajengan?  Aya deui?”
Barang geus tamat ngomong karungna dibuka, béh beling kénéh baé henteu daékeun jadi duit, ti dinya kacida hanjakaleunana datang ka ngalembah rék ceurik tina bawaning aral, ség baé bijil omongna suaban ngahina ka gusti Alah pokna, “Ih naha Allah téh wét pilih kasih, dipangnyieunkeun duit sawaréh? Ari kaula henteu? Jeung deui: kumaha naha atawa Allah téh geus diganti deui tayohna, da nu baréto mah bisa nyieun duit ku beling, ari Allah nu jeneng ayeuna tayoh-tayoh henteu bisaeun?
Ti wates harita éta jalma gering heubeul pisan nyeri cangkéng, tatamba kapirang-pirang dukun. Tina aya kénéh berkah Allah bisa cageur ogé, tatapi tanpadaksa, jadi bongkok tonggongna, datang ka henteu kuat nyiar kahirupan rosa-rosa, lawas-lawas manéhna jadi malarat cara nininini téa, kawas-kawas jadi tépa malaratna éta nini ka éta jalma téa.
More aboutCARITA SUNDA : NINI – NINI MALARAT JEUNG DELEG (GABUS) KASAATAN